POLITIK ALIRAN PADA MASA ORDE BARU
POLITIK
ALIRAN PADA MASA ORDE BARU
Politik aliran adalah gagasan yang ingin menjadikan politik
dan partisipasi politik sebagai sarana dan instrumen untuk memperjuangkan
aliran atau ideologi tertentu. Aliran yang dimaksud dapat berupa aliran
keagamaan atau sektarianisme, aliran politik yang bersifat sekuler maupun yang
bercorak sosio-kultural.
Menurut Ruth McVey, pengertian aliran adalah sebagai
berikut :
“Arus” atau “sungai” identifikasi
ideologis-budaya, (yang) merupakan sebuah konsep penting dalam perpolitikan
Indonesia dari 1945 sampai 1965. Istilah tersebut merujuk pada pembagian
masyarakat Jawa, secara khusus menjadi kaum santri muslim yang taat dan kaum
Jawa abangan, kelompok-kelompok yang dimobilisasi menurut partai politik serta
organisasi massa di bawahnya. Organisasi-organisasi ini menyediakan lingkungan
bagi aktifitas sosial para pengikutnya dan memisahkan mereka dari berbagai
komunitas pesaing. Perbedaan yang menentukan aliran dari seseorang tidak
didasarkan pada agama formal, Bahasa atau teritori melainkan lebih pada derajat
ketaatan Islaminya, dan karenanya batas-batasnya ditetapkan berdasarkan adat
dan afiliasi organisasi alih-alih pada berbagai penanda yang lebih tetap…’
(Ricklef, 2013)
Konsep aliran ini antara lain pernah dikemukakan oleh
Clifford Geertz dalam studinya yang fenomenal
“Santri, Abangan, dan Priyayi”. Dalam kajiannya Geertz mengemukakan
bahwa terdapat tiga aliran sosio-kultural di Jawa yang didasarkan atas
perbedaan corak kebudayaan dan pandangan hidup. Secara garis besar konsepsi
Geertz mengklasifikasikan perbedaan komunitas budaya/keagamaan di Jawa sebagai
berikut :
santri |
abangan |
priyayi |
Ketaatan
pada ajaran Islam |
Ritual
selamatan,praktik pengobatan tradisional,kepercayaan terhadap makhluk halus Menekankan
aspek-aspek animistik |
Dipengaruhi
oleh kebudayaan mistik Hindu Budha dan kebudayaan Barat |
aktivitas
di pasar dan pedesaan |
Kehidupan
pedesaan |
Merupakan
kelompok elit “kerah putih” |
kegiatan
di sektor perdagangan sebagai pengusaha |
petani |
Bagian
dari birokrasi pemerintahan di
perkotaan |
Mendukung
Masyumi dan NU |
Mendukung
PKI |
Mendukung
PNI |
Selain itu konsep aliran juga pernah dianalisa oleh seorang
Indonesianis, Herbert Feith. Penelitiannya berlatarbelakang dinamika politik di
Indonesia era 1950-an yang ditandai oleh hingar-bingar politik dan instabilitas
politik. Feith terutama mengkaji corak aliran dan orientasinya masing-masing
sebagai berikut :
aliran |
Partai politik |
orientasi |
Tradisionalisme
Jawa |
PIR
Wongsonegoro |
Revivalisme
|
Nasionalisme
Radikal |
PNI |
Nasionalisme
populis |
Sosialisme
Demokrat |
PSI |
intelektualisme |
Agama |
Masyumi
& NU |
Modernis
& tradisionalis |
Komunisme |
PKI |
internasionalisme |
Sejak kegagalan G30S tahun 1965, aliran Komunisme umumnya
menghilang dari kancah perpolitikan di Indonesia. Pemerintah Orde Baru melarang
dengan tegas eksistensi aliran Komunisme dengan segala
manifestasinya.Pemerintahan Orde Baru terus dibayangi oleh trauma kebangkitan
komunisme sehingga selalu mengutarakan pandangan tentang bahaya laten Komunisme
untuk melegitimasi tindakan represifnya terhadap kalangan masyarakat sipil.
Sedangkan aliran Nasionalisme radikal juga telah surut masa
kejayaannya. Mundurnya aliran Nasionalisme radikal disebabkan sebagian
pemimpinnya dituding dekat dengan PKI dan selalu menggunakan retorika
revolusioner sebagaimana PKI.
Aliran nasionalisme radikal juga surut pasca tahun 1965
karena pemerintahan Orde Baru memiliki konsep pembangunan yang lebih menekankan
pada stabilitas ekonomi-politik dan menjalankan politik luar negeri
“Bertetangga Dengan Baik” dengan negara-negara di dunia khususnya negara
taetangga di kawasan Asia Tenggara.
Hal ini menyebabkan program populisme yang selama ini
diusung oleh golongan nasionalisme radikal dianggap tidak sesuai dengan visi
pembangunan Orde Baru. PNI memang masih diberi hak hidup oleh pemerintah Orde
Baru tetapi sudah sedemikian terkooptasi dan diharuskan beradaptasi dengan
iklim politik yang baru.
Adapun aliran Keagamaan khususnya Islam berhasil mendapat
tempat dalam struktur politik Orde Baru. Hanya saja pemerintah Orde Baru
memaksa aliran keislaman harus menyesuaikan diri dengan keinginan pemerintah.
Pemerintah Orde Baru menentang dipulihkannya Masyumi dan melarang
tokoh-tokohnya untuk tampil dalam politik nasional.
Pemerintah Orde Baru juga melarang aspirasi tentang Piagam
Jakarta dan menganggap hal tersebut sebagai subversif sebagaimana halnya dengan
gagasan perjuangan kelas dari PKI. Hal ini mengakibatkan munculnya fenomena
baru dalam khazanah pemikiran keislaman yang ditandai dengan adanya aliran
Neo-Reformisme dengan tokoh sentralnya Nurcholis Madjid.
Gagasan Neo Reformis Nurcholis bukanlah merupakan
kelanjutan dari gagasan modernisme dan reformasi yang sebelumnya diusung oleh
Masyumi. Nurcholis berupaya menghindarkan Ummat Islam dari konfrontasi dengan
pemerintah Orde Baru. Oleh karena itu ia menolak gagasan negara Islam, yang
selama ini merupakan sentral dari perjuangan Masyumi di era 1950-an.
Ia juga berupaya menitikberatkan perjuangan Islam melalui
pembaruan keagamaan dan etika serta membuka diri terhadap kerjasama dengan
kelompok-kelompok masyarakat di luar ummat Islam. Dengan menempatkan diri
sebagai reformis dan modernis gaya baru, Ia menentang pemisahan yang tegas yang
dibuat oleh kaum reformis sebelumnya yang menjauhi kaum Jawa abangan, kaum
mistik sufi, kaum intelek sekuler dan kaum Kristen. (Feith, 1988)
Berkembangnya aliran dan kelompon Neo Reformis yang menolak
gagasan tentang Negara Islam dan formalisme Islam, serta lebih menonjolkan
aspek saintifisme dan substansi Islam antara lain disebabkan karena pasca
ditumpasnya G30S/PKI, tidak ada lagi ancaman nyata Komunisme yang harus
diimbangi dengan gagasan dan konsepsi Negara Islam. Dalam hal ini Islam telah
berubah dan bermetamorfosa dari ideologi menjadi ilmu. Islam sebagai ilmu
menganggap bahwa yang paling penting adalah sistem, dan bukan negara. Negara
dianggap hanya merupakan satu aspek dari sistem. Sehingga perjuangan Islam
tidak hanya bergantung pada parlemen, manun dapat lebih luas
lagi.(Kuntowijoyo,1994)
Tentang aliran tradisionalisme Jawa dan Sosialisme
Demokratis, dapatlah dikatakan bahwa keduanya masih terus memiliki peran dalam
masa Orde Baru, tetapi keduanya telah banyak mengalami modifikasi. Walapun PSI
tidak dipulihkan pada masa Orde Baru, tetapi banyak tokoh dari eks partai ini
yang kemudian bergabung ke dalam pemerintahan sebagai teknokrat dan ekonom. Salah
satu yang paling terkemuka adalah Sumitro Djoyohadikusumo yang menjadi salah
satu ekonom utama pemerintahan Orde Baru.
Salah satu paradigma pembangunan politik pada pemerintahan
Orde Baru adalah berupaya menciptakan kestabilan politik dalam negeri. Oleh
karena itu pemerintah Orde Baru berupaya menghapuskan politik aliran. Hal itu
disebabkan Presiden Soeharto menganggap politik aliran sebagai salah satu
sumber dan potensi munculnya ketidakstabilan politik.
Gagalnya pemerintahan masa Demokrasi Liberal dan jatuhnya
pemerintahan Orde Lama menurut Soeharto disebabkan karena politik dan
pemerintahan di Indonesia terlalu diwarnai oleh adanya politik aliran. Salah
satu bentuk kebijakkan Soeharto untuk menghapus politik aliran adalah dengan
mencanangkan Asas Tunggal Pancasila pada tanggal 19 Februari 1985 yang
ditetapkan melalui Undang-Undang No.3/1985.
Kebijakkan tersebut
mengharuskan setiap partai politik, organisasi politik dan organisasi massa
yang ada untuk menggunakan asas Pancasila. Kebijakkan tersebut kemudian diikuti
dengan serangkaian peraturan untuk membuat sebuah tafsir tunggal atas Pancasila
melalui penataran P4 dan indoktrinasi lainnya seperti melalui pelajaran
Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang diajarkan mulai dari pendidikan dasar
sampai pendidikan menengah atas.
Pemberlakuan Asas Tunggal ini dilatar belakang oleh
beberapa hal sebagai berikut :
❶masih
adanya “Bahaya Laten Komunisme” yang melakukan gerakan melalui Organisasi Tanpa
Bentuk (OTB)
❷Masih
adanya aspirasi mengenai Piagam Jakarta
❸Pemerintah
Orde Baru menyadari bahwa agama selain memiliki peranan integratif yang
menimbulkan harmoni dalam masyarakat, dapat juga memiliki potensi disintegratif
yang memecah belah masyarakat
❹kemenangan
Partai Persatuan Pembangunan dalam pemilihan umum di Jakarta dan Aceh tahun
1977
❺Munculnya
Peristiwa Komando Jihad seperti Peristiwa Pembajakan Pesawat Woyla tahun 1981
dan teror Warman tahun 1982
❻
Terjadinya Insiden Peristiwa Lapangan Banteng tahun 1982 ketika sejumlah massa
pendukung PPP bentrok dengan massa pendukung Golkar di Lapangan Banteng
menjelang Pemilihan Umum tahun 1982
Kebijakkan Asas Tunggal tersebut bertujuan selain untuk
mengendalikan kekuatan-kekuatan politik yang ada juga bertujuan untuk
mengeliminasi perbedaan-perbedaan dalam kekuatan-kekuatan sosial politik itu
sendiri.
Dengan adanya asas tunggal Pancasila yang berlaku bagi
semua partai politik (PPP dan PDI) maka simbol-simbol keagamaan
(Islam,Katolikisme, Protestanisme) dan simbol sekuler seperti Marhaenisme yang
selama ini digunakan akan terhapus dari tubuh partai dan dengan sendirinya
proses memudarnya hubungan antara partai dengan masyarakat akan berlangsung
cepat, karena simbol-simbol itulah yang selama ini menjadi penghubung antara
rakyat dan partai politik. (Fachry Ali, 1984)
Selain itu menurut Eep Saefulloh Fattah pemberlakuan Asas
Tunggal memiliki beberapa tujuan lainnya, diantaranya ;
♦ pemerintah berupaya menempatkan Islam sebagai ‘musuh’ negara dengan mempertentangkan antara
Islam dan Pancasila. Pemberlakuan Asas Tunggal tidak pelak mengakibatkan
munculnya tafsir bahwa yang menggunakan asas selain Pancasila berarti
bertentangan dengan kehendak negara, dan Islam dipersepsikan sebagai sebuah
ideologi yang bertentangan dengan Pancasila.
♦ mengeliminasi Islam sebagai musuh potensial Orde Baru
yang masih tersisa
♦ melemahkan peran partai politik (PPP dan PDI) dengan
membatasi peran partai politik dari pelbagai kelompok kekuatan yang pluralistik
yang melegitimasikan gerakannay berdasarkan pluralitas ideologis.
♦ melakukan mobilisasi ke arah ideologi “pembangunan
ekonomi, stabilitas politik dan negara integralistik” (Fatah,2010)
Dampak dari kebijakkan Asas Tunggal tersebut adalah
tereliminasinya peran ideologi terutama Islam dalam kehidupan perpolitikan di
Indonesia terutama dalam kaitannya dengan politik elektoral. Selain itu
penetapan Asas Tunggal juga berdampak kemenangan Golongan Karya dalam pemilihan
umum tahun 1987.
Sebaliknya, PPP mengalami dilema dalam beradaptasi dengan
kebijakkan pemerintah tersebut. Terjadinya metamorphosis PPP menjadi partai
politik yang terbuka dengan melepaskan panji-panji dan lekatan ideologis Islam
dari tubuhnya telah menyebabkan PPP mengalami krisis identitas diri yang sangat
serius. Krisis identitas ini telah menyebabkan satu kesulitan yang serius pula
bagi PPP untuk melakukan aktualisasi dirinya sebagai representasi masyarakat
mayoritas yaitu Islam. (Fatah,2010)
Akan tetapi, pada dasawarsa 1990-an awal, Presiden Soeharto
terlihat berupaya mengaktifkan kembali politik aliran ini dengan merestui
berdirinya organisasi cendekiawan muslim, ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim
Indonesia). Organisasi ini mengumpulkan sejumlah tokoh akademisi dan cendekiawan
muslim ke dalam satu wadah.
Tujuan kebijakkan ini adalah agar pemerintah dapat dengan
mudah mengawasi dan mengooptasi tokoh-tokoh muslim yang selama ini potensial
menjadi oposisi bagi pemerintah Orde Baru. ICMI merupakan wujud politik aliran
karena dengan berdirinya ICMI maka kalangan cendekiawan dan masyarakat akan
terkotak-kotak berdasarkan orientasi keagamaan atau aliran/ideologi tertentu.
Tidak dipungkiri bahwa pendekatan yang dilakukan oleh
Soeharto ini dilatarbelakangi oleh adanya perubahan realitas politik yang
ditandai oleh kebangkitan semangat keberagaman. Terjadi gejala “santriisasi”,
yaitu kecenderungan kalangan ‘abangan” untuk mempelajari dan menghayati ajaran
agama (Islam) baik di dalam birokrasi pemerintahan maupun di kalangan
masyarakat luas.
Kecenderungan Soeharto untuk memunculkan kembali politik
aliran dengan tindakannnya mendekati kelompok muslim yang selama ini mengalami
marjinalisasi politik merupakan salah satu upayanya untuk membentuk
keseimbangan politik baru. Tahun-tahun terakhir kekuasaannya ditandai oleh
semakin renggangnya hubungan antara Soeharto dengan kalangan militer.
Sebagian kalangan militer resah dengan semakin
diakomodasinya kelompok modernis muslim ke dalam pemerintahan, sehingga
sebagian klik militer tertentu mulai membuat jarak dengan Soeharto. Hal ini
disadari sepenuhnya oleh Soeharto yang kemudian berupaya membangun aliansi
politik dengan kalangan muslim terutama dari kalangan konservatif, walaupun ada
juga kalangan modernis muslim yang terus melakukan oposisi dan perlawanan
terhadap Soeharto sperti yang dilakukan oleh Amien Rais. Soeharto juga berupaya
memproduksi isu sektarian dan rasial dengan melakukan propaganda anti-Cina dan
anti-Kristen. Tindakan ini menurut sebagian pengamat merupakan bentuk
“penghianatan’ terhadap cita-cita Pancasila yang pernah ia agung-agungkan
sebelumnya.
REFERENSI
:
Bibit Suprapto, Perkembangan Kabinet Dan Pemerintahan Di
Indonesia,Jakarta ; Ghalia Indonesia,1985
B.Wibowo dan Banjar Chaeruddin, Jenderal Yog Loyalis di
Balik Layar, Jakarta : Kompas, 2018
Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat
Jawa, Jakarta : Pustaka Jaya, 1983
Eep Saefulloh Fatah, Konflik, Manipulasi Dan Kebangkrutan
Orde Baru, Manajemen Konflik Malari,Petisi 50 dan Tanjung Priok, Jakarta :
Burungnerak Press,2010
Fachry Ali, Islam,Pancasila Dan Pergulatan Politik,Jakarta
: Pustaka Antara,1984
Herbert Feith, Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965,
Jakarta : LP3ES,1988
Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi, Jakarta : LPFEUI,2000
Kuntowijoyo, Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia,
Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1994
M.Rusli Karim, Perjalanan Partai Politik Di Indonesia,
Sebuah Pasang Surut,Jakarta : Rajawali,1983
M.C.Ricklef, Mengislamkan Jawa, Sejarah Islamisasi di Jawad
an Penentangnya dari Tahun 1930 Sampai Sekarang, Jakarta : Serambi, 2013
Robert W.Hefner, Civil Islam, Islam dan Demokratisasi di
Indonesia,Jakarta : ISAI, 2000
Taufik Abdullah, Sejarah Dan Masyarakat, Lintasan Historis
Islam di Indonesia, Jakarta : Pustaka Firdaus, 1987
Komentar
Posting Komentar