SOSIOLOGI KENTUT
SOSIOLOGI KENTUT
Sosisologi merupakan ilmu yang
termuda dalam rumpun ilmu-ilmu sosial. Sosiologi pertama kali muncul pada abad
19 Masehi dengan Auguste Comte sebagai pelopornya.
Sosiologi kemudian mengaami
perkembangan yang pesat seiring dengan makin kompleksnya hehidupan masyarakat.
Hal ini berdampak apa-apa yang menjadi kajian sosiologipun mengalami perluasan.
Secara umum sosiologi mempelajari
masyarakat. Kajian mengenai masyarakat merupakan bagian dari kajian sosiologi
makro yang memang banyak berhubungan dengan realitas sosial berskala besar.
Namun dalam sosiologi mikro, yang
menjadi kajian sosiologi bukanlah hal-hal yang besar seperti negara dan
masyarakat serta peradaban. Sosiologi mikro mempelajari dimensi kehidupan
sosial berskala kecil seperti interaksi antarindividu. Sosiologi mikro juga
tidak semata-mata mengkaji kehidupan manusia dari sudut pandang sosiologi
semata. Sosiologi mikro juga menganalisa kehidupan manusia dengan menggunakan
pendekatan psikologi, seperti etnometodologi dan fenomenologi.
Kentut atau buang angin merupakan
suatu kejadian alamiah atau natural yang dialami oleh makhluk hidup seperti
manusia. Kentut merupakan sebuah gejala alami ketika seseorang mengeluarkan gas
yang merupakan hasil produksi makanan yang dikonsumsinya. Namun demikian,
kentut atau buang angin sebenarnya bukan semata-mata peristiwa alamiah belaka.
Kentut atau buang angin juga merupakan sebuah peristiwa sosial, artinya kentut
atau buang angin dapat dikaji dari sudut pandang ilmu sosial.
Kentut atau buang angin merupakan
sebuah peristiwa sosial manakala kentut atau buang angin dikaitkan dengan
kebudayaan khusus sebuah masyarakat atau berhubungan dengan nilai dan norma
sosial tertentu.
Sebagai contoh, dalam komunitas
muslim, kentut atau buang angin mendapat perhatian khusus. Di dalam agama
Islam, kentut atau buang angin dianggap merupakan perkara yang biasa saja namun
dapat membatalkan wudhu. Wudhu merupakan ritual mensucikan diri dengan membasuh
sebagian anggota tubuh tertentu dengan air (kalau tidak ditemukan air maka
dapat dilakukan dengan membasuh sebagian anggota tubuh dengan debu, yang
disebut tayamum).
Seorang muslim yang hendak
melakukan ritual ibadah shalat diharuskan dalam keadaan bersuci, artinya ia
diharuskan atau diwajibkan mengambil wudhu terlebih dahulu, dan apabila ia
kentut atau buang angin, maka ia diharuskan mengambil wudhu kembali agar bisa
melakukan shalat.
Demikian pula dalam kebudayaan masyarakat
Indonesia pada umumnya kentut merupakan sesuatu hal yang lumrah dan dimaklumi
dengan syarat bahwa tindakan tersebut tidak dilakukan di tempat umum sehingga
diketahui oleh orang di sekitarnya, baik melalui suara atau melalui bau yang
ditimbulkannya.
Seseorang yang kentut atau buang
angin tidak pada tempatnya, seperti ditempat umum dengan mengeluarkan bunyi
yang nyaring atau menimbulkan bau yang tidak sedap maka akan dianggap sebagai
orang yang tidak berbudaya dan melanggar tata krama kesopanan.
Oleh karena itulah, seseorang harus
melakukan dramaturgi terkait dengan kentut atau buang angin. Ketika ia dalam
keadaan sendirian, maka tidak ada resiko sosial ketika ia melepaskan kentut
atau buang angin dengan cara apapun, namun ketika ia sedang berada di ruang
publik, maka tindakan tersebut harus dilakukan secara hati-hati agar tidak
menimbulkan respon yang negatif atau menimbulkan perasaan malu.
Kentut atau buang angin juga
mendapatkan perhatian khusus dari para analis sosial. Salah satu tokoh yang
menganalisis mengenai kentut atau buang angin adalah Nobert Elias. Elias
merupakan seorang ilmuan sosial Yahudi yang banyak dipengaruhi oleh Sosiologi
Weber.
Elias memfokuskan kajian sosialnya
dengan menganalisa pada kehidupan masyarakat Barat, terutama pada aspek-aspek
kehidupan sehari-hari yang banyak luput dari perhatian para sosiolog umumnya.
Elias akhirnya dikenals ebagai
tokoh yang menganalisa mengenai perilaku orang dalam kehidupan sosial. Bukunya
yang terkenal berjudul History of Manner
menggambarkan mengenai transformasi bertahap perilaku individu termasuk dalam
kaitannya dengan perilaku yang dianggap sepele, yaitu buang angin atau kentut.
Elias menyebutkan bahwa perilaku
buang angin atau kentut sudah mengalami perubahan, baik pada aspek pemaknaan
maupun pada aspek tindakan yang dilakukan individu ketika buang angin.
Nobert Elias mengutip buku
pelajaran terbitan abad 14 yang digunakan anak sekolah yang terkait dengan tata
cara kentut ;
“Untuk menghindari penyakit
; ingat pepatah kuno tentang kentut. Bila dapat dikeluarkan tanpa berbunyi, itu
adalah lebih baik. Namun, kentut lebih baik dikeluarkan dengan berbunyi
ketimbang ditahan…
Bunyi kentut, terutama kentut orang
yang berdiri di tempat ketinggian, adalah mengerikan. Orang mesti berkorban
dengan menekan bokongnya dengan kuat untuk menahan kentut.
Batuklah
untuk menyembunyikan ledakan kentut…Ikutilah hukum Chiliades ; gantikan bunyi
kentut dengan batuk. (Ritzer, tanpa tahun)
Elias menghubungkan perubahan
gagasan tentang cara kentut yang pantas ini dengan perubahan dalam figurasi
sosial, terutama di lingkungan istana Prancis. Makin banyak orang yang hidup
dlaam kedekatan dan dalam salingketergantungan yang semakin besar.
Pengendalian terhadap impuls-impuls
yang dimulai di tingkat kalangan istana akhirnya diteruskan ke kalangan orang
yang berstatus sosial lebih rendah.
Kebutuhan untuk memeprluas
pengendlaian ini muncul karena perubahan figurasi sosial lebih lanjut, terutama
orang yang berasal dari status sosial yang berbeda, bergerak saling mendekati,
menjadi semakin tergantung, dan karena semakin berkurangnya rigiditas sistem
stratifikasi yang mempermudah orang yang berada pad astatus sosial lebih rendah
berinteraksi dengan orang yang berada pada status sosial lebih tinggi.
Akibatnya, semakin meningkat
tuntutan bagi orang yang berada pada kelas sosial yang lebih rendah agar
mengendalikan kentutnya (dan berbagai perilaku lain) sebagaimana yang dituntut
bagi orang yang berada di kelas atas.
Orang yang berasal dari kelas
ataspun perlu mengendalaikan kentutnya tak hanya dihadapan orang sekelas,
tetapi juga dihadapan orang yang berkelas lebih rendah.
REFERENSI :
George Ritzer, Teori Sosiologi
Modern, Jakarta ; Kencana
Komentar
Posting Komentar