DANGDUT SEBAGAI BENTUK KEBUDAYAAN POPULER
DANGDUT SEBAGAI BENTUK KEBUDAYAAN POPULER
Musik dangdut merupakan salahs atu
genre musik yang sudah lama dikenal oleh masyarakat Indonesia. Musik dangdut
seringkali diasosiasikan dengan masyarakat golongan bawah. Hal ini disebabkan
karena para penikmatnya memang banyak yang berasal dari kelas sosial bawah.
Namun demikian banyak juga anggota
masyarakat dari golongan menengah maupun golongan atas yang juga menggemari
musik ini. Musik dangdutpun dalam perkembangannnya mengalami dinamika
sebagaimana jenis musik lainnya.
Kajian mengenai musik dangdut
merupakan bagian dari Sosiologi Budaya. Sosiologi budaya mengamati dan mengkaji
kebudayaan dan unsur-unsur pendukungnya yang dimiliki oleh sebuah kelompok masyarakat
atau komunitas tertentu.
Dilihat dari sejarahnya, tidak
jelas mengenai penanda atau asal usul dari musik dangdut. Terdapat berbagai
versi mengenai asal mula kemunculan musik dangdut di Indonesia.
Salah satu pendapat mengatakan
bahwa musik dangdut bermula dari musik gambus. Musik gambus merupakan kesenian
pertunjukkan yang dipengaruhi oleh unsur kebudayaan Arab, India dan Melayu.
Dalam perkembangannya, musik dangdut
mengalami modifikasi. Terdapat banyak unsur yang turut mengembangkan musik dangdut
sebagai yang kita kenal dewasa ini.
Musik gambus di antaranya
dimodifikasi oleh seorang musisi terkemuka tanah air, Roma Irama. Roma Irama
menggunakan beberapa instrumen musik yang terdiri dari gitar dan gendang
sebagai instrumen utamanya dalam memodifikasi musik dangdut.Roma Irama sendiri
juga dikenal sebagai figur yang membawakan musik dangdut dalam nuansa reliji.
Dalam berbagai kesempatan Roma
beserta sejumlah tokoh lainnya bahkan menjadikan dangdut sebagai sarana dakwah
dengan mengadakan pertunjukkan pentas dangdut yang diiringi dengan ceramah
keagamaan dengan temanya “Nada dan Dakwah”
Disebut Dangdut karena adanya suara
“dang’ dan “dut” secara berulang dari pukulan gendang ketika musik dimainkan.
Saking seringnya Roma tampil membawakan lagu dangdut, ia bahkan mendpaatkan
julukan sebagai “ Raja Dangdut’. Walaupun demikian, masih banyak lagit tokoh
yang dikenang dan dikenal sebagai pedangdut yang tersohor seperti Hamdan ATT,
ArRafiq dan lain sebagainya.
Danggut termasuk genre musik yang
relatif fleksibel dibandingkan dengan jenis musik lainnya. Itulah sebabnya
dangdut kerap dimodivikasi dengan jenis musik lainnya, mulai dari musik
keroncong, pop sampai musik cadas.
Terdapat beberapa bentuk atau
modifikasi dangdut, antara lain :
-dangdut jawa atau campursari
-dangdut koplo pantura
-dangdut pop
-dangdut metal
-dangdut reliji
-dangdut rock
Dilihat dari segmentasinya, dangdut
termasuk bersifat universal, artinya dangdut diminati oleh berbagai kalangan
sosial, baik tua-muda, kota-desa, dan berbagai level pendidikan. Walaupun ada
juga yang mengasosiasikan dangdut
sebagai musik kalangan kelas bawah atau golongan marjinal.
Umumnya tema-tema yang diusung
dalam musik dnagdut adalah mengenai seputar persoalan percintaan. Hal ini
sepertinya tidak jauh berbeda dengan genre musik lainnya.
Musik dangdut seringkali dikaitkan
dengan komunitas-komunitas tertentu di kawasan perkotaaan. Misalnya,
sebagaimana yang pernah diteliti oleh Paulus Wirutomo dalam penelitiannya
mengenai komunitas pemuda di Johar Baru, Jakarta Pusat yang kerap melakukan
tawuran, musik dangdut dianggap “selaras” dengan ritme kehidupan mereka. Musik
dangdut diangggap ‘ membius’ dengan syairnya yang mendayu-dayu. Lirik lagu
dalam musik dangdut dirasakan sesuai dengan kehidupan mereka yang serba susah
dan kekurangan.
Dalam perkembangannya, musik
dangdut telah menjadi kebudayaan populer atau budaya massa di Indonesia. Budaya populer dipahami
sebagai suara, gambar, dan pesan yang diproduksi secara massal dan komersial
(termasuk film, musik, busana, dan acara televisi) serta praktik pemaknaan
terkait, yang berupaya menjangkau sebanyak mungkin konsumen, terutama sebagai
hiburan .
Budaya populer disebut dengan sejumlah istilah. Budaya
populer disebut juga dengan istilah budaya pop atau budaya massa. Sebenarnya
tidak ada pengkategorian khusus yang membedakan antara apa yang disebut sebagai
budaya populer atau bukan.
Defenisi budaya pop bisa disederhanakan sebagai budaya
komersial, budaya rakyat, budaya massa, budaya konsumen, dan budaya spontan.
Secara historis, pada awalnya, budaya pop adalah budaya rakyat. Hal ini
terutama berlangsung ketika suatu kelompok masyarakat masih berada di bawah
kekuasaan para raja. Pada era ini budaya pop merupakan kebudayaan rakyat yang
dilawankan dengan budaya bangsawan milik lingkungan istana.
Budaya tinggi milik kaum aristokrat identik dengan sifat
ekslusif, elegan, penuh dengan tata krama, dan penuh dengan ajaran-ajaran magis
untuk mengafirmasikan kekuasaan mereka serta untuk menjaga agar tatanan
masyarakat tetap terjaga, maka budaya pop adalah kebalikannya ; sedang budaya
pop menjadi milik rakyat kebanyakan, bersifat inklusif, siapapun bisa
mengaksesnya dan menganggapnya sebagai milik mereka.
Budaya pop juga bersifat profan, penuh nuansa keduniawian,
ekspresi dari kehidupan rakyat bawah. Lebih dari itu semua, ia adalah
spontanitas rakyat dan para budak.
Pada era selanjutnya, seiring dengan perkembangan dan
konstelasi ekonomi politik baru, yang ditandai dengan berdirinya berbagai
negara bangsa dan industri bermesinkan teknologi canggih, konstelasi budaya pun
sedikit mengalami perubahan. Kalau dulu budaya tinggi merupakan milik kaum
aristokrat, maka kini ia menjadi milik kelas borjuis. Sementara budaya pop
bergeser, dari milik rakyat menjadi milik kaum proletar.
Sekarang ini , di saat kekuasaan negara bangsa mulai surut
dan digantikan oleh kekuasaan Multi National Corporation, konstelasi kebudayaan
lama menghilang. Semuanya menyatu dalam budaya pop. Budaya pop itu sendiri
kemudian berkembang menjadi kebudayaan massa. Budaya pop dalam hal ini menjadi
identitas bagi semuanya.
Yang menjadi ciri khas dari budaya pop dewasa ini adalah
‘tanda’ makna dari suatu tanda dicari dalam posisinya diantara tanda-tanda yang
lain. Budaya pop juga identik dengan massa yang konsumtif. Namun yang
dikonsumsi bukan lagi barang, namun ‘makna” di balik komoditi yang dikonsumsi
tersebut .
Selain identik dengan massa yang konsumtif, budaya pop juga identik dengan semangat plualitas dan
demokrasi. Dalam semangat ini , segala perbedaan tidak dianggap sebagai
permasalahan, malahan perbedaan-perbedaan itu direduksi dan didaur ulang
menjadi sebuah keseragaman selera.
Budaya pop adalah budaya massa yang kaya fantasi dan ilusi
kesenangan akan tetapi miskin kreasi. Budaya pop tidak terbiasa dengan cara
berfikir kritis, miskin rangsangan intelektual, yang bisa membuat massa
bertindak proaktif. Dalam budaya massa atau budaya pop segala sesuatu bersifat
instan karena yang lebih disukai adalah yang mampu mengatasi masalah ruang dan
waktu. Dalam budaya pop, kapitalis bisa memasarkan produk mereka. Melalui media
massa, budaya pop mampu memasuki kesadaran manusia, membongkar semua daya
kritis dan mengubahnya menjadi kepasifan.
Di era kapitalisme global sekarang ini, budaya pop tidak
lain adalah suatu alat yang diciptakan oleh segelintir kaum kapitalis yang
bertujuan membius massa, membuat mereka semua menjadi pasif dengan tujuan agar
mereeka bisa diarahkan ke mana saja sesuai dengan kepentingan kaum kapitalis
tersebut.
Budaya pop ternyata bukan budaya yang spontan diciptakan
oleh massa sebagaimana budaya itu dulu lahir dari ekspresi spontan rakyat dan
kaum budak, tetapi kini lebih merupakan sesuatu yang terberikan. Budaya pop adalah budaya pascamodernisme atau produk
kultural dari masyarakat postmodernisme. Ia telah menjadi ikon atau identitas
yang dikejar oleh masyarakat sekarang.(Kushendrawati, 2011)
Tidak ada unsur-unsur hakiki dalam satu produk atau praktik
budaya yang dapat menentukan apakah produk dan praktik budaya tersebut dapat
digolongkan sebagai “budaya populer’ atau tidak. Apa yang dulu, dan kini
disebut ‘budaya populer’ dalam konteks historis atau konteks sosial tertentu
dapat sangat berbeda di masa dan tempat yang berbeda. Semua itu sangat
tergantung pada konteksnya.
Walau pun memiliki watak yang mudah berubah dan bergantung
pada konteks, ada sejumlah hal umum yang membuat suatu karya atau perilaku
sosial secara konseptual bisa dianggap sebagai contoh budaya populer. Budaya
populer dalam hal ini memiliki sejumlah contoh sebagai berikut :
♦ sifatnya yang mudah diakses dan langsung menarik
perhatian bagi orang banyak
♦ karya dan praktik tersebut relatif murah
♦ menarik perhatian banyak orang dari segala ras, tempat
tinggal, usia, dan gender
♦ dapat digunakan, dinikmati, direproduksi atau didistribusi
ulang kepada pihak lain
♦ bersifat sederhana dan mudah digunakan
♦ Kebanyakan konsumennya adalah orang yang hidup di wilayah
urban dan industrial
♦ Penikmatnya bukan berasal dari kalangan elit
♦ di dalam budaya populer, sebagian ornag ‘lebih setara’
dibandingkan lainnya
♦ kebudayaan populer seringkali dicibir dan dipandang
rendah oleh kelompok-kelompok sosial yang lebih berorientasi elitis
♦ budaya populer sulit untuk mendapat tempat dan status
yang terhormat
♦ memiliki kedangkalan estetika
Budaya populer seringkali mendapatkan penilaian dan
pandangan rendah dari kalangan elit dan golongan intelektual. Budaya populer
juga seringkali mendapatkan stigma negatif
yang bersifat olok-olok yang
bersifat merendahkan seperti “budaya massa’, “budaya rendahan’, remeh temeh,
dangkal, palsu dan stigma-stigma sosial lainnya.
Budaya massa atau budaya konsumen pada umumnya ditujukan
sebagai sesuatu yang bersifat sangat destruktif bagi agama dalam kaitannya
dengan penekanannya pada hedonisme , pengejaran kesenangan di sini dan saat ini
(here and now), penanaman gaya hidup ekspresif, pengembangan narsistik dan tipe
kepribadian egoistik.
Budaya massa atau
budaya konseumen didasarkan pada asumsi bahwa gerakan menuju konsumsi massa
disertai dengan reorganisasi produksi simbolik, praktik dan pengalaman
sehari-hari secara umum.
Budaya massa atau bidaya konsumen sering dikaitkan dengan
konsumerisme. Konsumerisme itu sendiri dianggap telah mengakibatkan terjadinya
kemiskinan spiritual dan kedirian hedonistik dengan filsafatnya “nikmati
sekarang, bayar belakangan” (live now, pay later).
Dari satu perspektif, televisi dalam budaya konsumen dapat
dipandang sebagai meremehkan yang suci dalam kapasitasnya menghasilkan arus
informasi dan sampai pada penjajaran yang membahayakan, karena tanda dan simbol
yang dahulu terisolasi sekarang dapat saling berhubungan.
Namun demikian dpaat pula ditegaskan bahwa perayaan,
peristiwa serta tontonan yang ditayangkan layar televisi mampu memunculkan
perasaan meriah. Event-event seperti pernikahan anggota kerajaan, penguburan
secara kenegaraan dan bahkan konser rock serta final kejuaraan olah raga dapat
mempertinggi pemunculan rasa suci serta menegaskan kembali konsensus moral yang
mendukung konflik dan persaingan sosial.
Salah satu ciri budaya massa atau budaya konsumen adalah
ketersediaan berbagai macam komoditas, barang, dan pengalaman yang harus
dikonsumsi, dipertahankan, direncanakan dan diimpikan oleh masyarakat umum.
Namun konsumen ini bukanlah konsumsi benda-benda yang merupakan kebutuhan tetap.
Sebaliknya, budaya konsumen melalui periklanan, media,
teknik pameran benda-benda, mampu mendestabilisasikan gagasan asli mengenai
pemakaian dan arti benda-benda dan melekatkan pada benda-benda tersebut imaji
dan tanda-tanda baru yang mengumpulkan berbagai macam perasaan dan keinginan
yang berkait.
Kelebihan produksi
tanda dan hilangnya referen dengan demikian merupakan tendensi yang
imanen dalam budaya konsumen. Oleh karena itu dalam budaya konsumen tendensinya
adalah mendorong budaya ke arah bagian terpenting dalam kehidupan sosial, namun
budaya itu adalah budaya yang terfragmentasi dan direproduksi secara terus
menerus yang tidak melekat dengan apapun seperti ideologi yang dominan.
REFERENSI
:
Ariel Heryanto, Identitas Dan Kenikmatan, Politik Budaya
Layar Indonesia, Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia, 2015
Bagong Suyanto, Sosiologi Ekonomi,
Kapitalisme dan Konsumsi di Era Masyarakat Post-Modernisme, Jakarta :
Kencana,2013
Ben Agger, Teori Sosial Kritis,
Kritik, Penerapan dan Implikasinya,Yogyakarta : Kreasi Wacana,2017
Bernard Raho, Teori Sosiologi
Modern, Jakarta : Prestasi Pustaka,2007
Burhan Bungin, Sosiologi
Komunikasi, Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di
Masyarakat,Jakarta : Kencana, 2006
Burhan Bungin, Pornomedia,
Konstruksi Teknologi Telematika dan Perayaan Seks di Media Massa,Jakarta :
Kencana,2003
Daisy Indira Yasmin (ed), Perang
Tanpa Alasan, Sebuah Kajian Sosiologis Terhadap Kasus Tawuran di Komunitas
Pemuda Johar Baru Jakarta Pusat, Jakarta : Obor, 2017
Herbert Marcuse, Manusia Satu
Dimensi,Yogyakarta : Bentang,
J.Dwi Narwoko & Bagong Suyanto,
Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan, Jakarta : Prenada, 2014
Jean Baudrillard, Masyarakat
Konsumsi, Yogyakarta : Kreasi Wacana, 2015
Mike Featherstone, Postmodernisme
dan Budaya Konsumen, Yogyakarta : Pustaka, 2001
Nanang Martono, Sosiologi Perubahan
Sosial,Perspektif Klasik,Modern,Posmodern dan Poskolonial, Jakarta : Rajawali,
2014
Nengah Bawa Atmaja dan Luh Putu Sri
Ariyani, Sosiologi Media, Perspektif Teori Kritis, Depok : RajaGrafindo
Persada,2018
Rahma Sugihartati, Perkembangan
Masyarakat Informasi dan Teori Sosial Modern, Jakarta : Kencana, 2014
Selu Margaretha Kushendrawati,
Hiperrealitas Dan Ruang Publik, Sebiah AnalisIs Cultural Studies, Jakarta : Penaku,
2011
Yasraf Amir Piliang, Sebuah Dunia
Yang Dilipat,Realitas Kebudayaan Menjelang Millenium Ketiga dan Matinya
Postmodernisme, Bandung : Mizan, 1998
Yuswohady, 8 Wajah Kelas Menengah,
Jakarta : Gramedia,2015
Komentar
Posting Komentar