TEORI HISTORISISME DALAM ILMU ANTROPOLOGI BUDAYA
TEORI
HISTORISISME DALAM ILMU ANTROPOLOGI BUDAYA
Antropologi merupakan disiplin ilmu yang berada
diantara ilmu-ilmu sosial dan ilmu humaniora. Dibandingkan dengan disiplin ilmu
lainnya, antropolog termasuk relatif masih muda. Antropologi dapat dikatakan
sebagai disiplin ilmu yang sistematik baru sekitar paruh ketiga abad ke-20.
Antropologi secara umum diartikan sebagai suatu ilmu
yang membahas mengenai budaya masyarakat. Melalui antropologi diharapkan dapat
dipelajari mengenai perilaku manusia dalam bermasyarakat dengan memadukan
antara tujuan biologi dan sosial budaya dalam kehidupan.
Menurut William A.Haviland, antropolog merupakan ilmu
yang mempelajari tentang umat manusia untuk mengetahui perilakunya dan
memperoleh pemahaman tentang keragaman hidup secara lengkap dalam kehidupan
bermasyarakat. Sedangkan menurut David Hunter Hubel, antropologi merupakan ilmu
yang mempelajari tentang manusia secara tidak terbatas.
Mempelajari antropologi berguna dalam rangka
meningkatkan pemahaman dan pengetahuan seputar ilmu sosial, humaniora, biologi
dan fisik. Dengan mempelajari antropologi, kita dapat mengembangkan pengetahuan
tentang hal-hal yang berkaitan dengan manusia secara biologis maupun secara
sosiokultural.
Sejarah berkembangnya teori-teori dalam antropologi
ditandai oleh adanya dua fase, dimana masing-masing fase tersebut memiliki
karakteristiknya masing-masing.
1.Fase sebelum Perang Dunia Kedua
Pada fase ini teori-teori antropologi cenderung
mengkaji masyarakat dan kebudayaan primitif dan kebudayaan masyarakat Non
Barat.
2.Fase setelah Perang Dunia Kedua
Pada fase ini teori-teori antropologi juga mempelajari
dan mengkaji masyarakat dan kebudayaan masyarakat modern dan juga kebudayaan
masyarakat Barat
Teori Historisisme merupakan salah satu teori dalam ilmu
antropologi. Teori ini dikembangkan oleh Franz Boaz. Boaz merupakan seorang
antropolog Amerika yang dikenal sebagai tokoh sentral dalam antropologi.
Boas juga dikenal sebagai pendekar dalam ilmu ilmu antropologi Amerika
Serikat. Ia memiliki jasa dalam meletakkan dasar perkembangan ilmu antropologi
melalui field-worknya di daerah Kanada Barat dan Utara khususnya daerah
masyarakat Suku Eskimo.
Boas merupakan salah seorang peletak dasar Antropologi
modern. Boas terkenal dengan teorinya mengenai relativitas budaya. Boas
menyadari bahwa semua masyarakat pada dasarnya setara. Bagi Boas semua budaya
pada dasarnya harus dipahami dalam konteks budaya mereka sendiri. Boas juga
menolak anggapan bahwa ada masyarakat yang dianggap beradab dan biadab atau
primitif
Teori ini menolak perspektif baik evolusionisme maupun
difusionisme. Beberapa premis umum dan karakteristik teori ini antara lain menilai
bahwa setiap kebudayaan itu unik sehingga masyarakat harus dipahami dari sudut
pandang masyarakat itu sendiri. Konsep inilah yang kemudian melahirkan
pandangan emik dan konsep relativitas budaya. Kedua konsep ini merupakan konsep
esensial dalam ilmu antropologi.
Istilah emik berasal dari istilah linguistik, yaitu
fonemik (phonemic). Secara sederhana, emik mengacu pada sudut pandang
masyarakat yang diteliti. Emik dapat dipahami sebagai cara untuk memahami dan
melukiskan suatu kebudayaan dengan mengacu pada sudut pandang atau perspektif
masyarakat pemilik kebudayaan yang dikaji. Apabila mengkaji suatu kebudayaan
menggunakan prinsip emik, temuan yang dihasilkan akan bersifat khas budaya atau
menghasilkan temuan yang berbeda pada konteks budaya yang berbeda pula.
Penelitian yang bersifat emik mengarah pada penelitian
eksplorasi, yakni mencari sebanyak mungkin konsep-konsep yang sudah dikenal dan
akrab dengan masyarakat itu sendiri sedangkan penelitian yang bersifat etik
lebih mengedepankan pendapat si peneliti karena konsep-konsep yang ada telah
dipersiapkan terlebih dahulu dalam memahami masyarakat.
Pendekatan emik semula dianggap sukses dalam konteks
menggali ide, pendapat, perasaan, sikap dan perasaan dan pendapat yang telah
berkembang dalam suatu kelompok masyarakat. Oleh karena itu orang di luar
masyarakat tersebut yang dapat dengan mudah memahami perilaku dan cara berfikir
yang berbeda dari cara yang ada dalam kebiasaan kelompoknya sendiri.
Pengetahuan emik dapat diperoleh melalui wawancara maupun metode observasi,
karena ada kemungkinan pengamat yang objektif dapat menarik kesimpulan dari
persepsi masyarakat yang diteliti.
Prinsip emik ini dibedakan dengan etik. Etik (berasal
dari istilah phonetic) merupakan pendekatan atau cara untuk memahami dan
melukiskan suatu kebudayaan dengan mengacu pada sudut pandang si peneliti. Cara pandang etik merupakan
penjelasan, deskripsi dan analisis yang mewakili cara pandang pengamat sendiri
sebagai orang di luar masyarakat yang ditelitinya. Apabila mengkaji suatu
kebudayaan secara etik, temuan yang dihasilkan akan cenderung sama pada
berbagai konteksi budaya atau lebih bersifat universal.
Sedangkan konsep Relativisme kebudayaan menyatakan
bahwa fungsi dan arti dari suatu unsur
adalah berhubungan dengan lingkungan atau keadaan kebudayaannya. Suatu
unsur dalam dirinya adalah bersifat netral, tidak baik dan tidak buruk. Ia
hanyalah dikatakan baik atau buruk bila dikaitkan pada kebudayaan di mana ia
berfungsi.
Konsep relativisme kebudayaan tidak berarti bahwa
semua adat istiadat mempunyai nilai yang sama juga tidak mengetahui bahwa
kebiasaan tertentu pasti merugikan. Di beberapa tempat beberapa pola perilaku
mungkin merugikan, tetapi di tempat tertentu pola semacam itu mungkin mempunyai
tujuan dalam kebudayannya, dan masyarakat itu akan menderita tanpa pola semacam
itu, kecuali dicari penggantinya.
Premis dasar lain dari teori historisisme adalah menganggap
bahwa perkembangan kebudayaan masyarakat di dunia harus dianalisa dari sejarah
perkembangannya. Hanya melalui analisis sejarah saja penelitian holistic mengenai
sebuah kebudayaan dapat menghasilkan penilaian yang memadai dan komperhensif.
REFERENSI :
Clifford Geertz, Politik Kebudayaan, Jakarta :
Kanisius, 1992
John Clammer, Neo Marxisme Antropologi, Yogyakarta :
Sadasiva, 1985
Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi 1, Jakarta
: UI-Press, 2014
Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi 1, Jakarta
: UI-Press, 2007
Louis Firth, Ciri-ciri dan Alam Hidup Manusia, Suatu
Pengantar Antropologi Budaya, Bandung ; Sumur Bandung, 1961
William A.Haviland, Antropologi 1, Jakarta ; Erlangga,
1985
Firth, Ciri-Ciri Alam Hidup Alam Manusia, Suatu
Pengantar Antropologi Budaya, Bandung ; Sumur Bandung, 1961
John Clammer, Neo Marxisme Antropologi, Yogyakarta ;
Sadasiva, 2003
Jonathan Turner, Fungsionalisme, Yogyakarta ; Pustaka
Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, Jakarta ;
Aksara, 1062
Parsudi Suparlan, Dari Masyarakat Majemuk Menuju
Masyarakat Multikultural, Jakarta ; YPKIK, 2008
Komentar
Posting Komentar