ANTROPOLOGI ANTARA ILMU MURNI DAN ILMU TERAPAN
ANTROPOLOGI
ANTARA ILMU MURNI DAN ILMU TERAPAN
Ilmu antropologi lahir
sekitar pertengahan abad ke-19 M, Ketika ahli-ahli dari beberapa bidang ilmu
pengetahuan seperti anatomi, arkeologi, sejarah kebudayaan, folklore, ilmu
hukum, ilmu Bahasa dan geografi tertarik akan himpunan bahan etnografi mengenai
kebudayaan-kebudayaan suku-suku bangsa di luar Eropa dan penduduk pribumi benua
Amerika dan Australia.
Berdasarkan bahan etnografi
itu mereka mengembangkan teori-teori mengenai evolusi kebudayaan dan masyarakat
manusia dan dengan terbitnya buku-buku yang memuat teori-teori itu, serta
dibukanya jurusan-jurusan di beberapa universitas utama di dunia yang mengajarkan
teori-teori tersebut, maka lahirlah antropologi.
Antropologi lahir dari
perhatian ahli-ahli dari beberapa cabang ilmiah terhadap satu jenis bahan, maka
tidak mengherankan bahwa sejak awal perkembangannya telah ada
spesialisasi-spesialisasi yang dapat kita sebut cabang ilmu, yaitu antropologi
fisik dan antropologi budaya.
Terkait dengan misi yang
diemban oleh antropologi adalah adanya dikotomi mengenai apakah antropologi
merupakan ilmu murni atau ilmu terapan. Pertanyaan ini tidak mudah untuk
menjawabnya, mengingat adanya komplikasi tertentu yang dikaitkan dengan sejarah
perkembangan antropologi.
Kelahiran antropologi tidak
dapat dilepaskan dari kolonisasi yang dilakukan oleh bangsa Eropa. Dalam rangka
politik pasifikasinya, bangsa Eropa berupaya mempelajari kebudayaan dari
masyarakat yang dikuasainya. Agar dapat melanggengkan penjajahannya, bangsa
Eropa mengutus sejumlah ilmuan untuk menyelidiki seluk beluk kehidupan
masyarakat koloni, misalnya Ketika Belanda menugaskan seorang indolog yang
bernama Snouck Hurgronje untuk menyelidiki agama dan kebudayaan masyarakat Aceh
dalam rangka menuntaskan penguasaannya atas wilayah tersebut.
Dari penjelasan tersebut
dapat dilihat bahwa sedari awal antropologi sudah menjadi ilmu terapan, artinya
antropologi tidak sekedar mengkaji kebudayaan sebuah masyarakat melainkan
memiliki misi dan orientasi tertentu.
Akan tetapi, seiring dengan
terjadinya proses dekolonialisme dan makin luasnya perkembangan ilmu
antropologi, muncul gagasan agar antropologi membatasi kajiannya hanya pada
aspek penyelidikan mengenai kebudayan dan tidak berorientasi pragmatis. Gagasan
ini dilatarbelakangi oleh adanya trauma karena selama ini antropologi telah dimanfaatkan (baca ;
disalahgunakan) untuk kepentingan kolonialisme.
Pendapat inipun terus
menimbulkan kontroversi. Pihak yang menginginkan antropologi tidak hanya
membatasi aktivitasnya pada sekedar mengkaji masyarakat melainkan juga memiliki
tujuan praktis berpendapat bahwa ilmu antropologi adalah ilmu yang bersifat kemanusiaan.
Antropolog tidak dapat menutup matanya dari berbagai kesulitan yang dihadapi
oleh masyarakat yang menjadi bagian dari penelitiannya.
Sejumlah antropolog tidak
merasa puas hanya dengan mengkaji masyarakat, mereka juga ingin terlibat lebih
jauh untuk menolong dan memberdayakan masyarakat yang dikajinya agar dapat
hidup lebih layak.
Kesimpulannya adalah, antropologi dapat dikatakan
memiliki dua sisi atau dua wajah yang tidak dapat dipisahkan. Disatu sisi
antropologi bersifat murni, akan tetapi di sisi lain antropologi juga bersifat
terapan. Antropologi bersifat murni apabila memiliki aktivitas kajian sebagai
berikut :
-Meneliti kebudayaan masyarakat
-Melacak asal usul manusia
-Mencari tahu sebab keragaman umat manusia
-Mengamati
jejak-jejak kehidupan manusia masa kini dan masa lampau
Sedangkan corak antropologi terapan dapat ditandai
dari aktivitas kajian sebagai berikut ;
-Melindungi
situs-situs arkeologi
-Memberdayakan komunitas adat
-Menyelamatkan tradisi masyarakat lokal
-Melindungi eksistensi masyarakat kesukuan
-Melayani kepentingan klien tertentu
-Menyelamatkan peninggalan-peninggalan arkeologis dan
etnologis
Komentar
Posting Komentar