PENGANTAR ANTROPOLOGI PERKOTAAN
PENGANTAR
ANTROPOLOGI PERKOTAAN
ANTROPOLOGI
SEBAGAI ILMU TENTANG KEBUDAYAAN MANUSIA
Ilmu antropologi lahir
sekitar pertengahan abad ke-19 M, Ketika ahli-ahli dari beberapa bidang ilmu
pengetahuan seperti anatomi, arkeologi, sejarah kebudayaan, folklore, ilmu
hukum, ilmu Bahasa dan geografi tertarik akan himpunan bahan etnografi mengenai
kebudayaan-kebudayaan suku-suku bangsa di luar Eropa dan penduduk pribumi benua
Amerika dan Australia.
Berdasarkan bahan etnografi
itu mereka mengembangkan teori-teori mengenai evolusi kebudayaan dan masyarakat
manusia dan dengan terbitnya buku-buku yang memuat teori-teori itu, serta
dibukanya jurusan-jurusan di beberapa universitas utama di dunia yang mengajarkan
teori-teori tersebut, maka lahirlah antropologi.
Antropologi lahir dari
perhatian ahli-ahli dari beberapa cabang ilmiah terhadap satu jenis bahan, maka
tidak mengherankan bahwa sejak awal perkembangannya telah ada
spesialisasi-spesialisasi yang dapat kita sebut cabang ilmu, yaitu antropologi
fisik dan antropologi budaya.
Antropologi adalah ilmu yang mempelajari tentang
manusia secara luas dari sisi linguistik (bahasa), arkeologi (evolusi dan
sejarah peradaban manusia), kebudayaan seperti nilai, norma, kepercayaan yang
dianut, serta fisik yang nampak seperti bentuk rambut, warna rambut, dan kulit
yang membedakan mereka dengan kelompok lain dan mengalami pewarisan.
Antropologi adalah kajian ilmu tentang manusia, yakni
bagaimana manusia itu berbeda dengan makhluk lainnya yang bisa dilihat dari
akal budinya. Antropologi adalah ilmu kemanusiaan yang menjunjung tinggi nilai
kemanusiaan, memanusiakan manusia dengan yang lain.
Antropologi sebagai ilmu yang menjunjung relativisme
budaya, di mana tidak ada yang benar dan salah dari sudut pandang sebagai
antropolog. Antropologi menyikapi perbedaan sebagai kekayaan ragam budaya yang
nyata dan indah yang harus dipertahankan sebagai identitas mereka yang
membedakannya dengan yang lain.
Fokus antropologi bukan hanya manusia melainkan
beberapa manusia yang mendiami wilayah tersebut sebagai ikatan bersama. Pada
dasarnya manusia itu adalah sebagai makhluk biologis dan sosial yang selalu
berkembang biak, bergerak, dan tidak bisa hidup tanpa bantuan orang lain.
Manusia dalam kenyataannya saling memengaruhi manusia lain, begitu pula
sebaliknya.
ANTROPOLOGI
PERKOTAAN
Antropologi perkotaan merupakan kajian antropologi di masyarakat modern.
Adapun tokoh utama yang secara khusus
mengkaji mengenai masyarakat modern dalam antropologi adalah Jules Henry. Jules
Henry dikenal di kalangan antropolog melalui karnyanya yang berjudul “Cultural
against man.”
Antropologi perkotaaan dikenal juga dengan sebutan urban antropologi
dengan sejumlah karakteristik sebagai berikut :
1.Berlangsung di kawasan perkotaan
2.Objek studi adalah kebudayaan masyarakat modern
3.Data melimpah berupa arsip pemerintah dan surat kabar
Antropologi perkotaan adalah pendekatan dari
Antropologi terapan dalam melihat berbagai masalah yang timbul dalam masyarakat
di wilayah perkotaan sebagai dampak dari terjadinya proses urbanisasi.
Adapun masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat
perkotaan yang dikaji melalui Antropologi perkotaan antara lain kemiskinan
perkotaan, degradasi lingkungan, seperti kelangkaan air tanah, polusi
udara,suara, air dan tanah, kriminalitas, kemacetan, banjir, pemukiman kumuh,
dan lain sebagainya.
Salah satu objek kajian
dalam antropologi perkotaan adalah fenomena gelandangan. Gelandangan merupakan
salah satu bagian dari maslaah perkotaan yang sangat akut dan memerlukan
penanganan yang komperhensif. Upaya antropologi yang ingin mengatasi persoalan
mengenai gelandangan ini menunjukkan corak antropologi yang bukan saja bersifat
murni melainkan juga terapan.
Keberadaan gelandangan
nampaknya sudah melekat erat dengan struktur masyarakat perkotaan. Bukan saja
di negara-negara miskin dan berkembang, di negara-negara yang maju sekalipun
fenomena gelandangan juga dapat mudah ditemukan.
Bahkan menurut Parsudi
Suparlan yang banyak melakukan penyelidikan mengenai kehidupan golongan
gelandangan mengatakan bahwa semakin besar tingkat perkembangan kota maka
semakin banyak pula jumlah orang gelandangannya.
Hal ini menimbulkan
kesan bahwa adanya gelandangan itu disebabkan karena adanya kota, dan adanya
orang gelandangan dalam jumlah yang banyak sehingga mewujudkannya
sebagai masalah sosial di kota adalah sebuah konsekuensi dari perkembangan
kota.
Sebenarnya masalah
adanya gelandangan di kota bukan semata-mata karena perkembangan sebuah kota,
tetapi justru karena adanya tekanan-tekanan ekonomi dan rasa tidak aman
sebagian warga desa dan yang kemudian terpaksa harus mencari tempat yang diduga
dapat memberi kesempatan bagi suatu kehidupan yang lebih baik di kota.
Sesungguhnya memang
kotalah yang dapat menampung pendatang-pendatang baru untuk bermukim dan hidup
dalam wilayahnya. Ini dimungkinkan karena struktur sosial, ekonomi, dan
administrasi yang ada di dalam kota lebih kompleks daripada yang ada di desa,
sehingga dapat menampung pendatang-pendatang baru, bukan hanya yang kaya dan
terpelajar saja, tetapi juga yang miskin dan papa. Karena itulah timbul kesan,
bahwa adanya kota telah melahirkan adanya orang gelandangan.
Fenomena gelandangan di
kota-kota besar menunjukkan adanya ketimpangan sosial yang nyata di dalam
masyarakat. Di kawasan perkotaan ternyata didapati bukan saja mereka yang hidup
berkecukupan dan memiliki harta dan fasilitas kehidupan yang melimpah, di dalam
kota juga terdapat kelompok marjinal yag hidup serba kekurangan.
Gelandangan adalah
sebuah fenomena sosial di daerah perkotaan. Hampir semua kota di Indonesia
ditemui adanya kelompok masyarakat ini. Gelandangan mempunyai dimensi kehidupan
sosial yang luas seperti dimensi sosial, psikologis, dan dimensi ekonomi.
Para gelandangan adalah
golongan masyarakat miskin. Bahkan dapat dikatakan bahwa mereka adalah golongan
masyarakat yang paling miskin. Dibandingkan dengan orang miskin lainnya, para
gelandangan tidak mempunyai prasyarat untuk hidup secara layak.
Mereka terutama sekali
tidak mempunyai rumah tempat tinggal yang dapat menjadikan mereka dan eluarga
mereka hidup secara layak dan manusiawi. Mereka kerap tinggal di sembarang
tempat seperti di emperan toko dan di bawah kolong jembatan.
Mereka juga kerap
menempati sejumlah fasilitas publik untuk bisa sekedar tidur melewatkan malam
seperti di gerbong-gerbong kereta yang kosong, di tepi-tepi sungai dan di
sepanjang jalan kereta api. Hal itu mereka lakukan karena ketiadaan uang yang
mereka miliki untuk dapat menyewa kos-kosan, kontrakan atau sekedar rumah semi
permanen yang disewakan.
Bahkan dalam sejumlah
kasus, para gelandangan bahkan menempati kawasan pekuburan dan harus
kucing-kucingan dengan aparat dan aparatur kota. Mereka dan kawan-kawan senasib
berprinsip , menempati tempat tertentu terlebih dahulu dan menerima resiko
belakangan.
Meski demikian ada juga
sekelompok gelandangan yang awalnya menempati suatu daerah secara ilegal dan
kemudian membangun bangunan liar dalam perkembangannya mereka menjadi penduduk
sah dari kota yang bersangkutan.
Kehidupan para
gelandangan sanagt tidak layak dan tidak sesuai dengan ukuran nilai
kemanusiaan. Mereka seringkali terpaksa makan makanan sisa buangan di tempat
sampah. Pakain mereka juga tidak layak pakai. Yang mereka pakai adalah pakaian
yang sudah lusuh, bau, dan compang-camping.
Para gelandangan adalah
golongan masyarakat miskin atau dimiskinkan oleh masyarakatnya. Mereka adalah
orang yang disingkirkan dari kehidupan khalayak ramai, sehingga mereka hidup
terisolir. Gelandangan merupakan pola hidup atau cara hidup agar mampu bertahan
dalam kemiskinan dan keterasingan.
Gelandangan seringkali
mendapatkan stigma sosial yang negatif dari masyarakat sekitarnya. Keberadaan
mereka dianggap sebagai pengganggu ketertiban dan merusak keindahan kota,
sehingga para gelandangan seringkali menjadi sasaran razia dari aparat Satuan Polisi
Pamong Praja.
Keberadaan para
gelandangan yang sering lalu lalang di kawasan pusat kota dianggap mengganggu
ketertiban dan keindahan kota di mata para pengambil kebijakan dan penguasa
kota. Para gelandangan dinilai dapat memberikan kesan jelek dan terbelakang di
mata tamu-tamu dari negara-negara asing.
Para gelandangan adalah
kelompok masyarakat yang memiliki posisi terendah dalam struktur sosial
masyarakat. Keberadaan mereka tidak diakui oleh masyarakat dan dianggap sebagai
bentuk disfungsi dari struktur sosial yang ada.
Selain itu mereka juga
distigma sebagai orang-orang yang malas, tidak berpendidikan, kotor dan jorok.
Bahkan ada juga penduduk kota dan aparat pemerintahan yang mencurigai para
gelandangan memiliki motif-motif kriminal.
Memang ada gelandangan
yang “terpaksa” mencari sesuap nasi dengan cara-cara ilegal seperti
mencuri menjadi copet atau hidup melacur, akan tetapi hal itu mereka lakukan
sebagai bentuk strategi adaptasi dalam menjani kehidupan mereka yang keras.
Stereotip masyarakat
terhadap para gelandangan tersebut seringkali tidak benar. Dalam studi yang
dilakukan oleh Parsudi Suparlan terbukti bahwa banyak di antara para
gelandangan itu yang merupakan pekerja keras. Mereka ternyata banyak yang
bekerja keras secara legal dan tidak malas, walaupun tetap saja pendapatan yang
mereka terima sehari-hari jauh dari memadai.
Istilah gelandangan
berasal dari kata “gelandang’ yang berarti ‘yang selalu megembara”, yang
“berkelana”. Para gelandangan adalah mereka yang tidak mempunyai pekerjaan
tetap dan layak serta tidak memiliki tempat tinggal menetap dan layak. Para
gelandangan juga kerap makan di sembarang tempat.
Menurut Parsudi
Suparlan, masyarakat gelandangan dalah sejumlah orang yang bersama-sama
mempunyai tempat tinggal relatif tidak tetap dan mata pencaharian yang relatif
tidak tetap serta yang dianggap rendah dan hina oleh orang-orang di luar
masyarakat kecil itu atau suatu masyarakat yang lebih luas
; tindakan-tindakan yang dilakukan oleh anggota-anggotanya serta
norma-norma yang ada pada masyarakat gelandangan tersebut dianggap tidak pantas
dan tidka dibenarkan oleh golongan-golongan lainnya dalam masyarakat yang lebih
luas yang mencakup masyarakat kecil itu. (Suparlan, 2008)
Fenomena gelandangan
muncul sebagai dampak dari urbanisasi. Perpindahan mereka dari desa tempat asal
mereka ke kawasan perkotaan disebabkan karena kehidupan di desa tidak
menjanjikan.
Pekerjaan sebagai petani
dan peternak di kampung halaman semakin tidak dapat memenuhi kebutuhan mereka
sehari-hari. Gagal panen, sulitnya memperoleh pupuk, jeratan rentenir kerap
menjadikan banyak orang desa meninggalkan kehidupan tradisionil mereka sebagai
petani.
Sebaliknya, mereka
melihat kehidupan kota dengan segala gemerlapnya sebagai kehidupan yang
menjanjikan. Mereka punya harapan tinggi akan adanya perubahan nasib mereka
kalau mereka pindah ke kota. Apalagi mereka juga sering mendapatkan informasi
keberhasilan kawan-kawan mereka yang sudah lama pindah ke kota.
Keberadaan para urban
yang kemudian menjadi gelandangan ini sulit dicegah oleh pemerintah kota
setempat, mengingat adanya kesulitan untuk melakukan pengawasan terhadap para
pendatang yang berasal dari desa. Pemerintah kota kerap melakukan sejumlah
langkah untuk mengendalikan arus urbanisasi seperti melakukan operasi yustisi,
namun tetap saja hal tersebut tidak mampu menahan arus masuknya pendatang dari
desa ke kota-kota besar.
Keberadaan gelandangan
dan urbanisasi nampaknya memiliki korelasi yang kuat. Terdapat korelasi yang
tinggi antara banyaknya gelandangan dengan tingkat urbanisasi suatu daerah.
Artinya, makin tinggi derajat urbanisasi—baik dalam pengertian kualitatif maupun
kuantitatif—maka makin besar pula jumlah tuna wisma di daerah perkotaan itu.
Menjadi gelandangan
merupakan peran yang sulit dijalankan. Mereka mengalami kesulitan untuk dapat
hidup secara normal sebagaimana golongan sosial lainnya. Para gelandangan harus
mengubur dalam-dalam mimpi-mimpi mereka sejak kecil. Tidak banyak pekerjaan
yang dapat mereka lakukan. Yang jelas mereka tidak dapat memasuki sektor
ekonomi formal seperti menjadi buruh atau pegawai kantoran.
Pekerjaan yang digeluti
oleh para gelandngan bervariasi. Ada yang legal dan juga yang ilegal. Ada
gelandangan yang hidup dari kegiatan mengumpulkan barang-barang bekas yang
masih memiliki nilai jual dari tempat-tempat sampah.
Sebagian gelandangan
juga ada yang menjadi penarik becak dan pedagang kaki lima. Selain
itu ada juga profesi ilegal yang dijalani oleh sebagian gelandangan baik yang
bersifat individual maupun yang terorganisir seperti mencuri dan menjadi pelacur.
Kehidupan para
gelandangan ini memiliki sejumlah karateristik antara lain sebagai berikut ;
-hidup berpindah-pindah
tempat tinggal
-tidak memiliki tempat
tinggal yang permanen
-mereka tidur di tempat
yang tidak layak
-kekurangan makanan dan
pakaian
-makan dan minum di
sembarang tempat
-Tidak memiliki akses
terhadap kegiatan MCK
-tidak memiliki akses
kepada fasilitas publik dan layanan kesehatan
-tidak memiliki
pekerjaan yang tetap dan layak
-tidak dianggap sebagai
warga kota yang sah
-keberadaannya dianggap
ilegal
-memiliki keterbatasan
mengakses sumber daya kehidupan untuk hidup layak
-dicap rendah oleh
golongan sosial lainnya yang ada di kota
-memiliki posisi sosial
yang paling rendah dalam struktur masyarakat kota
-hidup terisolir dari
masyarakat pada umumnya
-kehidupan keseharian
mereka membentuk sebuah sub kultur gelandangan
-menyambung hidup dari
kegiatan mengumpulkan barang-barang bekas
-mempunyai lingkungan
pergaulan , norma dan aturan tersendiri yang berbeda dengan kehidupan sosial
masyarakat lainnya
-adanya perasaan
ketidakpastian hidup
-berkembangnya perasaan
apatisme dan keputusasaan di kalangan mereka
-adanya solidaritas di
antara sesama gelandangan
-memiliki kemampuan
adaptasi yang tinggi
-terbukti mampu
menghaapi tantangan hidup di perkotaan
-mereka enggan meminta
pertolongan kepada sanak saudara mereka atau kenalan mereka dari daerah asal
-mereka menggantungkan
diri pada belas kasihan orang lain
-muncul sikap pasrah dan
sikap menerima nasib (buruk)
-mereka mengagungkan apa
yang mereka sebut sebagai ‘kebebasan’, yaitu pekerjaan yang tidak dikendalikan
oleh orang lain
-sanggup memikul resiko
sendiri
-terdapat struktur
kekuasaan dalam kehidupan kelompok gelandangan
-memiliki rasa
kesetiakawanan terhadap sesama gelandangan
REFERENSI
:
Ihromi, T.O, Pokok-Pokok Antropologi Budaya, Jakarta ;
Pustaka Obor Indonesia, 2016
Koentjaraningrat,Pengantar Antropologi, Jakarta ;
Aksara,1969
Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial Jakarta ; Dian Rakyat, 1985
Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi 1, Jakarta
: UI-Press, 2014
Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi 1, Jakarta
: UI-Press, 2007
Louis Firth, Ciri-ciri dan Alam Hidup Manusia, Suatu
Pengantar Antropologi Budaya, Bandung ; Sumur Bandung, 1961
Parsudi Suparlan, Masyarakat Gelandangan Yang
Sudah Menetap di Jakarta, dalam Dari Masyarakat Majemuk Menuju Masyarakat
Multikultural, Jakarta : YPKIK, 2008
Paulus Widiyanto (ed), Gelandangan ;
pandangan Ilmuan Sosial, Jakarta : LP3ES, 1988
William A.Haviland, Antropologi 1, Jakarta ; Erlangga,
1985
William A.Haviland, Antropologi 2, Jakarta ; Erlangga,
1985
Komentar
Posting Komentar