PERSPEKTIF EMIK DALAM PENELITIAN ANTROPOLOGI

 

PERSPEKTIF EMIK DALAM PENELITIAN ANTROPOLOGI

Salah satu perspektif yang digunakan dalam penelitiaan mengenai masyarakat, khususnya disiplin ilmu antropologi adalah perspektif emik. Istilah emik berasal dari istilah fonemik (phonemic). Secara sederhana, emik mengacu pada sudut pandang masyarakat yang diteliti.

Emik dapat dipahami sebagai cara untuk memahami dan melukiskan suatu kebudayaan dengan mengacu pada sudut pandang atau perspektif masyarakat pemilik kebudayaan yang dikaji. Apabila mengkaji suatu kebudayaan menggunakan prinsip emik, temuan yang dihasilkan akan bersifat khas budaya atau menghasilkan temuan yang berbeda pada konteks budaya yang berbeda pula.

Penelitian yang bersifat emik mengarah pada penelitian eksplorasi, yakni mencari sebanyak mungkin konsep-konsep yang sudah dikenal dan akrab dengan masyarakat itu sendiri sedangkan penelitian yang bersifat etik lebih mengedepankan pendapat si peneliti karena konsep-konsep yang ada telah dipersiapkan terlebih dahulu dalam memahami masyarakat.

Pendekatan emik semula dianggap sukses dalam konteks menggali ide, pendapat, perasaan, sikap dan perasaan dan pendapat yang telah berkembang dalam suatu kelompok masyarakat. Oleh karena itu orang di luar masyarakat tersebut yang dapat dengan mudah memahami perilaku dan cara berfikir yang berbeda dari cara yang ada dalam kebiasaan kelompoknya sendiri. Pengetahuan emik dapat diperoleh melalui wawancara maupun metode observasi, karena ada kemungkinan pengamat yang objektif dapat menarik kesimpulan dari persepsi masyarakat yang diteliti.

Prinsip emik ini dibedakan dengan etik. Etik (berasal dari istilah phonetic) merupakan pendekatan atau cara untuk memahami dan melukiskan suatu kebudayaan dengan mengacu pada sudut pandang si peneliti. Cara pandang etik merupakan penjelasan, deskripsi dan analisis yang mewakili cara pandang pengamat sendiri sebagai orang di luar masyarakat yang ditelitinya. Apabila mengkaji suatu kebudayaan secara etik, temuan yang dihasilkan akan cenderung sama pada berbagai konteks budaya atau lebih bersifat universal.

Deskripsi atau penjelasan antropologis dianggap sebagai cara pandang etik apabila dapat diterapkan secara lintas budaya. Deskripsi atau pengetahuan etik tidak bergantung pada acuan khusus, atau bersifat lokal semata, melainkan harus dapat digeneralisasikan. Perspektif etik harus dapat dikembangkan oleh pengamat bebas dengan memperoleh hasil yang sama ketika validasi dilakukan.

Pendekatan emik dan etik digunakan dalam penelitian mengenai masyarakat. Secara singkat pendekatan emik berusaha memahami perilaku individu atau masyarakat dari sudut pandang si pelaku itu sendiri sedangkan pendekatan etik menganalisa perilaku atau gejala sosial dari pandangan orang luar serta membandingkan dengan budaya lain. Dengan demikian maka pendekatn etik bersifat lebih objektif, dapat diukur dengan ukuran dan indikator tertentu, sedangkan pendekatan emik relatif lebih subjektif dan banyak menggunakan kata-kata atau Bahasa dalam menggambarkan perasaan individu yang menjadi objek studi.

Studi emik lebih bersifat unik, sukar untuk digeneralisasikan secara luas. Menurut Foster, pendekatan emik mencakup upaya untuk mengomunikasikan keadaan diri-dalam (inner psikological states) dan perasaan individu yang berkaitan dengan suatu perilaku.

Asumsi dari pendekatan emik ini adalah bahwa pelaku atau aktor suatu tindakan itu lebih tahu tentang proses-proses yang terjadi dalam dirinyta dari pada orang lain atau orang luar. Dan pengetahuan tentang proses mental ini diperlukan untuk memahami mengapa seseorang melakukan suatu tindakan atau mengapa dia menolak untuk melakukan tindakan tersebut.

Sebaliknya, ada pandangan yang justru mengatakan bahwa pelaku atau aktor biasanya tidak dapat mengamati dengan baik proses-proses yang terjadi di dalam dirinya. Oleh karena itu diperlukan orang lain yang dapat meneropong perasaan dan pikian bawah sadar seseorang yang sebetulnya melandasi perilakunya.

Peneropongan ini tidak perlu melalui psikoanalisa, melainkan menggunakan indikator nyata berupa hal-hal yang dapat diamati dari perilaku individu. Apakah hasil pengamatan itu cocok dengan perasaan  atau penghayatan si pelaku, hal itu tidaklah penting dalam pendekatan etik. Yang lebih penting dalam pendekatan etik adalah jika hasil pengamatan atau indikator antara beberapa orang itu ternyata sama, walaupun studi mereka dilakukaan secara terpisah.

Dengan demikian, pendekatan etik dapat digunakan dalam studi komparasi antarbudaya, hanya saja pendekatan etik memberikan perbandingan dan generalisasi sedangkan pendekatan emik menggambarkan keunikan penghayatan masing-masing individua tau kelompok. Pendekatan etik dan emik digunakan dalam penelitian sosial kemasyarakatan.

Jika studi itu menggunakan informan untuk memberikan informasi , maka informan itu dapat memberikan informasi yang bersifat etik, misalnya siapa saja yang datang dalam gotong royong maupun emik, misalnya apa makna upacara kremasi bagi penganut agama Hindu dan Budha.

Berdasarkan deskripsi di atas maka dapat disimpulkan bahwa perspektif emik memiliki sejumlah karakteristik sebagai berikut :

-pendekatan emik berusaha memahami perilaku individu atau masyarakat dari sudut pandang si pelaku itu sendiri

-pendekatan emik relatif lebih subjektif dan banyak menggunakan kata-kata atau bahasa dalam menggambarkan perasaan individu yang menjadi objek studi.

-studi emik lebih bersifat unik, sukar untuk digeneralisasikan secara luas.

- pendekatan emik mencakup upaya untuk mengomunikasikan keadaan diri-dalam (inner psikological states) dan perasaan individu yang berkaitan dengan suatu perilaku.

-asumsi dari pendekatan emik ini adalah bahwa pelaku atau actor suatu Tindakan itu lebih tahu tentang proses-proses yang terjadi dalam dirinyta dari pada orang lain atau orang luar.

 

REFERENSI :

Koentjaraningrat,Pengantar Antropologi,

Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi 1, Jakarta : UI-Press, 2014

Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi 1, Jakarta : UI-Press, 2007

Louis Firth, Ciri-ciri dan Alam Hidup Manusia, Suatu Pengantar Antropologi Budaya, Bandung ; Sumur Bandung, 1961

William A.Haviland, Antropologi 1, Jakarta ; Erlangga, 1985

Solita Sarwono, Sosiologi Kesehatan, Beberapa Konsep dan Aplikasinya, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 1993

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SOSIOLOGI PEMBUNUHAN

STATUS OBJEKTIF DAN STATUS SUBJEKTIF

TAWURAN SEBAGAI SUATU GEJALA SOSIAL (ANALISIS SOSIOLOGIS KONFLIK SOSIAL DI PERKOTAAN)