RELATIVISME BUDAYA DALAM KAJIAN ANTROPOLOGI BUDAYA

 

RELATIVISME BUDAYA DALAM KAJIAN ANTROPOLOGI BUDAYA

Relativisme budaya merupakan salah satu prinsip penting dalam ilmu antropologi. Relativisme budaya dikemukakan oleh sejumlah tokoh seperti Frans Boaz. Gagasan mengenai relativisme budaya kemudian dikembangkan juga oleh Ruth Benedict, Margaret Mead dan Herskovits.

Konsep relativisme budaya muncul pertama kali sebagai reaksi terhadap berkembangnya gagasan atau teori evolusionisme. Konsep evolusionisme merupakan gagasan yang melihat bahwa umat manusia berkembang dari proses evolusi jangka panjang. Evolusi ini membentuk masyarakat manusia dari bentuk yang sederhana menjadi lebih kompleks. Konsep evolusi ini dikembangkan pertama kali oleh Charles Darwin, Auguste Comte, Herbert Spencer dan Lewis Henry Morgan.

Auguste Comte dikenal dengan metode empirik-objektifnya  yang tidak  memberikan ruang bagi hal-hal yang transendental, termasuk aspek mistis dan metafisika. Menurut Comte melalui Hukum Tiga Tahapnya menjelaskan bahwa kepercayaan teologis/agama merupakan fase kesadaran primitif atau merupakan sejenis pengetahuan yang lebih rendah dan Comte menilai bahwa sekularisasi merupakan sebuah keniscayaan dalam proses evolusi kehidupan manusia.

Seiring dengan berkembangnya rasionalitas dan ilmu pengetahuan, agama dan kepercayaan magi lainnya  akan dengan sendirinya hilang dari kehidupan manusia, hal itu disebabkan ilmu pengetahuan dan teknologi memiliki kemampuan yang lebih besar untuk menjelaskan fenomena kehidupan manusia.

Menurut Comte proses perkembangan akal-budi manusia berlangsung melalui sebuah proses evolusi yang bersifat unilinier dengan tahapan tertentu sebagai berikut :

1. Fase teologis ; fase ketika semua gejala alam dan gejala sosial dilihat dari sudut kepercayaan yang bersifat nonilmiah

2.Fase Metafisik ; fase peralihan dari fase teologis ke fase positivis

3.Fase Positivis ; fase ketika semua gejala alam dan gejala sosial dilihat dari sudut ilmu pengetahuan yang bersifat empirik dan ilmiah

Spencer adalah seorang tokoh liberal yang menganut gagasan evolusionis, yang berkeyakinan bahwa kehidupan masyarakat tumbuh secara progresif menuju keadaan yang makin baik dan karena itulah kehidupan masyarakat harus dibiarkan berkembang sendiri dan lepas dari campur tangan yang hanya akan memperburuk keadaan. Ia menerima pandangan bahwa institusi sosial, sebagaimana tumbuh-tumbuhan dan binatang, mampu beradaptasi secara progresif dan positif terhadap lingkungan sosialnya.

 

Sebagai penganut gagasan social Darwinism (Darwinisme Sosial, sebuah aliran pemikiran yang hendak menerjemahkan teori evolusi Darwin ke dalam dunia kehidupan sosial) ia menganggap masyarakat sebagai organisme.Ia memusatkan perhatiannya pada struktur sosial secara menyeluruh, antarhubungan bagian-bagian masyarakat dan kaitan fungsi bagian-bagian satu sama lain maupun pada sistem seperti suatu keseluruhan.

 

Selain itu konsep relativisme budaya muncul sebagai reaksi atas berkembangnya pandangan rasisme. Rasisme berkembang beriringan dengan munculnya kolonialisme Eropa pada abad 18-19 Masehi. Rasisme baru muncul pada abad 18, pada masa awal eksploitasi kapitalis atas masyarakat non-Barat.

Rasisme menurut Frederickson  (1971) dan Van Den Berghe (1967) berkembang pada abad 19 dan mencapai puncaknya pada kurun waktu tahun 1880-an. Pada saat itu Rasisme berkembang diantaranya di Amerika pada saat sebelum dan sesudah terjadinya Perang Sipil Amerika.

Rasisme yang dimiliki oleh para pemilik budak di Amerika saat itu dimunculkan dengan tujuan agar membenarkan dan merasionalisasikan penindasan dan eksploitasi yang kejam yang  mereka lakukan terhadap jutaan budak kulit hitam yang berasal dari Afrika. Para pemilik budak dengan pandangan rasisme, meyakini bahwa para orang kulit hitam tersebut layak diperbudak karena secara genetika mereka berbeda dengan manusia pada umumnya dengan segala sifat inferioritas yang melekat padanya.

Rasisme merupakan sebuah konsep yang menyatakan bahwa ras merujuk ke kelompok manusia yang ditentukan dirinya berdasarkan ciri-ciri jasmaniah yang tidak dapat diubah seperti warna kulit, tekstur rambut, raut muka atau bentuk tubuh.

 

Rasisme berasal dari suatu sikap mental yang memandang ‘mereka” (outgroup) berbeda dengan ‘kita” (ingroup) secara permanen dan tak terjembatani. Perasaan berbeda ini menyediakan motif atau alasan untuk memanfaatkan keunggulan kekuasaan sebuah kelompok guna mempertahankan ras yang lain dengan cara-cara yang dianggap kejam dan tidak adil jika diterapkan kepada anggota kelompok ingrup.

 

Rasisme dapat mendorong munculnya beragam tindakan yang menjurus kepada diskriminasi sosial hingga  segregasi sosial, penaklukan kolonial, pengucilan, deportasi paksa bahkan genosida dan perbudakan.

 

Pelaku rasialisme tidak memberikan peluang kepada kelompok yang menjadi sasaran rasialisasi untuk hidup berdampingan secara damai di dalam masyarakat yang sama, kecuali apabila hubungan itu berdasarkan dominasi dan subordinasi. Rasialisme juga menolak adanya kemungkinan melenyapkan perbedaan rasial dengan mengubah identitas seseorang.

 

Istilah Rasisme digunakan untuk menyebut gagasan yang meyakini adanya kaitan kausal antara ciri-ciri jasmaniah seseorang dengan keturunan, kepribadian, intelektualitas, kebudayaan, atau gabungan dari kesemuanya. Gagasan ini kemudian menimbulkan perasaan superioritas pada ras tertentu terhadap ras lain seperti yang pernah terjadi ketika berkuasanya NAZI di Eropa pada masa Perang Dunia II.

 

Para ilmuan sosial mengartikan rasisme sebagai suatu ideologi lanjutan yang percaya bahwa suatu ras secara alamiah adalah superior dan semua ras lainnya dianggap inferior. Rasisme menganggap bahwa superioritas dan inferioritas tersebut muncul secara alamiah dan merupakan hasil dari warisan genetika.

 

Rasisme dengan demikian berasumsi bahwa pencapaian sosial , ekonomi dan politik anggota-anggota suatu ras merupakan hasil warisan genetika mereka yang superior ; demikian pula , “kegagalan” anggota-anggota ras lainnya dikatakan disebabkan oleh kekurangan-kekurangan yang berkaitan dengan genetika. Kekurangan-kekurangan yang nyata itu biasanya dipercayai terletak pada bidang intelegensi dan karakter, tapi doktrin rasisme sering memperluasnya sampai mencakup sifat-sifat lainnya.

 

Rasisme adalah paham yang menolak suatu golongan masyarakat yang berasal dari ras yang lain. Rasisme timbul atau dapat timbul ketika masyarakat yang merupakan golongan mayoritas menemukan adanya  golongan minoritas dalam masyarakatnya yang berbeda secara biologis dan kondisi masyarakat golongan minoritas tersebut tidak memiliki kemampuan untuk mempertahankan dirinya atau kelompoknya. Jadi kalau golongan minoritas tersebut memiliki kemampuan dan kekuatan, maka golongan mayoritas akan kehilangan keinginan dan ambisi rasialnya.

Relativisme budaya didefinisikan melalui dua penjelasan ;

1. Relativisme budaya adalah cara pandang yang melihat suatu nilai, perilaku dan budaya yang ada dalam suatu kelompok masyarakat sesuai  budaya masyarakat yang dikaji itu sendiri.

2.Relativisme budaya adalah suatu pandangan yang menilai bahwa setiap masyarakat , nilai, kebudayaan, kebiasaan, kepercayaan dan aktivitas harus dipahami dari cara atau sudut pandang budaya itu sendiri.

Relativisme kebudayaan berarti bahwa fungsi dan arti dari suatu unsur  adalah berhubungan dengan lingkungan atau keadaan kebudayaannya. Suatu unsur dalam dirinya adalah bersifat netral, tidak baik dan tidak buruk. Ia hanyalah dikatakan baik atau buruk bila dikaitkan pada kebudayaan di mana ia berfungsi.

Konsep relativisme kebudayaan tidak berarti bahwa semua adat istiadat mempunyai nilai yang sama juga tidak mengetahui bahwa kebiasaan tertentu pasti merugikan. Di beberapa tempat beberapa pola perilaku mungkin merugikan, tetapi di tempat tertentu pola semacam itu mungkin mempunyai tujuan dalam kebudayannya, dan masyarakat itu akan menderita tanpa pola semacam itu, kecuali dicari penggantinya.

Konsep relativisme budaya dibangun di atas sejumlah prinsip mendasar sebagai berikut :

1. Relativisme budaya menolak doktrin superioritas-inferioritas budaya. kelompok superior adalah kelompok yang menganggap  dirinya sebagai kelompok yang unggul dan normal dan sebaliknya, kelompok inferior adalah kelompok yang dikonotasikan oleh kelompok dominan sebagai kelompok yang tidak unggul dan dianggap wajar mengalami diskriminasi bahkan kekerasan

2.Relativisme budaya menolak pandangan bahwa terdapat kebenaran / nilai yang bersifat universal

3.Relativisme budaya menganggap bahwa setiap budaya memiliki sifat moral dan standar dan etikanya sendiri

4.Relativitas budaya menganggap bahwa apa yang dianggap benar pada suatu kelompok masyarakat, belum tentu dianggap benar oleh masyarakat lain.

5. Relativisme budaya menganggap kebudayaan dipandang sebagai suatu yang bersifat relatif, parsial, dan tidak universal, melainkan bergantung pada konteks budaya masyarakat itu sendiriyang berbeda dari satu tempat dengan tempat yang lain.

6.Relativisme budaya memandang bahwa semua konten budaya harus dipahami dan diperjelas sesuai dengan konteks budaya di mana ia berada.

Tujuan dari konsep relativisme budaya adalah mengimbangi gagasan penelitian yang bersifat etnosentrisme. Penelitian sosial terutama yang berbasiskan metode kuantitatif seringkali dipengaruhi oleh teori-teori yang bersifat etnosentris. Teori-teori tersebut didasarkan atas pandangan subjektif dari peneliti. Etnosentrisme sendiri diartikan sebagai cara pandang yang menilai kebudayaan lain dari sudut pandang peneliti.

Pandangan etnosentris ini dapat diimbangi dengan gagasan Relativitas Budaya. Gagasan ini berintikan pada adanya penilaian terhadap suatu kebudayaan dari sudut pandang masyarakat yang bersangkutan.

Selain itu gagasan relativisme budaya juga bertujuan untuk mencegah berkembangnya prasangka peneliti. Prasangka berasal dari bahasa latin,  Praejudicum, yang artinya prae (setengah / sebelum) dan judicum (penilaian). Secara definisi, prasangka merupakan sikap antipasti berdasarkan generalisasi yang tidak tepat/salah.

 

Prasangka etnis adalah antipati yang didasarkan kepada suatu generalisasi yang salah dan kaku. Hal itu bisa hanya muncul dalam perasaan atau diungkapkan ; bisa ditunjukkan pada kelompok secara keseluruhan, atau ditujukan pada seseorang karena ia adalah anggota kelompok tersebut.

 

Prasangka seringkali dikaitkan dengan aspek rasial. Prasangka ini disebut dengan istilah prasangka rasial. Prasangka rasial didefinisikan sebagai pendapat atau perasaan yang buruk terhadap ras tertentu tanpa pengetahuan atau alasan yang cukup.

 

Konsep relativisme kebudayaan dapat dijumpai dalam berbagai ragam kebudayaan suku bangsa yang ada di Indonesia, antara lain sebagai berikut ;

1.Bagi masyarakat Toraja, merayakan kematian anggota keluarganya dengan biaya yang sangat besar bukanlah pemborosan melainkan dimaknai sebagai bentuk penghormatan kepada orang tua

2.Bagi Masyarakat Madura, tradisi Carok merupakan bentuk pelembagaan konflik yang memiliki arti penting bagi keberlangsungan masyarakat

3.Bagi masyarakat Betawi, tradisi Selametan bukan sekedar ritual belaka, melainkan sebagai sarana membentuk solidaritas masyarakat

4.Bagi masyarakat Bali, sistem varna bersifat fungsional untuk mengatur pembagian kerja di masyarakat

5.Bagi masyarakat Badui Dalam, tidak menggunakan teknologi modern bertujuan mempertahankan keaslian budaya dan mempertahankan batas-batas kelompok

Akan tetapi, konep relativisme budaya bukanlah sebuah gagasan yang tidak mendpaatkan penentangan. Sejumlah pandangan menilai bahwa konsep relativisme budaya memiliki ambiguitas dan kelemahan-kelemahan tertentu. Bahkan Sebagian menilai konsep relativisme budaya cenderung bersifat naif.

Konsep atau gagasan relativisme kebudayaan dianggap memiliki kelemahan karena konsep ini dinilai membenarkan atau menjustifikasi unsur-unsur budaya tertentu yang bertentangan dengan kemanusiaan secara universal. Misalnya, apakah atas nama relativisme budaya kita akan membiarkan begitu saja kehidupan masyarakat suku bangsa atau komunitas tertentu yang hidup di bawah standar kehidupan yang laayak berdasarkan nilai-nilai modern kini.

Atau apakah atas nama relativisme budaya, sejumlah perilaku yang dianggap “menyimpang” menurut nilai-nilai dan norma-norma masyarakat universal tetap dapat dibiarkan begitu saja walaupun unsur-unsur budaya tersebut mengancam masyarakat pemilik kebudayaan tersebut bahkan mengancam masyarakat secara keseluruhan ? Misalnya tradisi memutilasi anggota suku bangsa yang kalah dalam peperangan, perilaku incest yang terdapat pada komunitas tertentu atau tradisi kanibalisme yang masih dimiliki oleh sebuah komunitas budaya.

REFERENSI :

George Frederikson, Rasisme : Sejarah Singkat, Yogyakarta : Bentang, 2003

Koentjaraningrat,Pengantar Antropologi,

Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi 1, Jakarta : UI-Press, 2014

Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi 1, Jakarta : UI-Press, 2007

Louis Firth, Ciri-ciri dan Alam Hidup Manusia, Suatu Pengantar Antropologi Budaya, Bandung ; Sumur Bandung, 1961

William A.Haviland, Antropologi 1, Jakarta ; Erlangga, 1985

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SOSIOLOGI PEMBUNUHAN

STATUS OBJEKTIF DAN STATUS SUBJEKTIF

TAWURAN SEBAGAI SUATU GEJALA SOSIAL (ANALISIS SOSIOLOGIS KONFLIK SOSIAL DI PERKOTAAN)