INTEGRASI NASIONAL
INTEGRASI NASIONAL
DEFINISI INTEGRASI NASIONAL
Integrasi nasional adalah penyatuan atau pembauran unsur-unsur yang berbeda berdasarkan kepada latar belakang wilayah, suku, agama, golongan, ras, bahasa dan lainnya ke dalam kesatuan wilayah secara selaras, serasi dan berkesinambungan untuk mewujudkan cita-cita nasional
Indonesia memerlukan upaya yang tidak hanya strategis namun juga taktis untuk mempertahankannya. Sebagai suatu entitas negara-bangsa (nation-state) yang majemuk, Indonesia terdiri dari bermacam etnis, agama, bahasa, ras, serta adat- istiadat. Dalam perkembangannya, bermacam etnis dengan seluruh atribut sosialnya, saling berhubungan satu sama lain melalui jaringan pelayaran, perdagangan, perkebunan, pembangunan fasilitas transportasi serta komunikasi, dan pembukaan lembaga- lembaga modern semacam sekolah, birokrasi, serta pers.
Interaksi antar etnis dengan atribut sosialnya dalam suatu ruang modernitas itu sudah melahirkan pergantian solidaritas antar etnis dari yang bertabiat mekanis menjadi solidaritas organis. Orang serta ataupun kelompok sosial membangun solidaritas serta integrasi sebab terdapatnya persamaan kepentingan, profesi, serta status sosial.
Solidaritas serta integrasi sosial antar etnis ini, selanjutnya melahirkan kesadaran kebangsaan serta integrasi nasional. Pentingnya integrasi nasional, terutama disebabkan oleh data geografis bahwa Indonesia adalah negara kepulauan yang jumlahnya terbanyak di dunia, dengan luas 1.904.569 km persegi. Jumlah pulaunya sekitar 17.000 pulau. tujuh ribu pulau (41,17%) di antaranya yang berpenghuni. Pulau-pulau ini membentang kurang lebih 1.760 km dari arah utara ke selatan serta 5.120 km dari barat ke timur. Kawasan yang demikian luas ini ditempati oleh beragam kelompok etnik yang telah berabad-abad sudah saling berhubungan komunikasi sehingga mendorong terbentuknya integrasi nasional.
Terdapat lima definisi tentang integrasi sebagai berikut :
1.
Ia mengacu pada proses penyatuan bermacam kelompok budaya serta sosial dalam
satu daerah serta proses penguatan jati diri nasional, mengembangkan rasa cinta
kepada tanah air dengan cara meminimalkan etnosentrisme yang sempit.
2.
Integrasi mengacu kepada permasalahan penetapan wewenang kekuasaan (authority)
pusat di atas wilayah atau daerah di bawahnya yang beranggotakan
kelompok-kelompok sosial budaya masyarakat tertentu.
3.
Integrasi mengacu pada permasalahan menghubungkan antara pemerintah dengan yang
diperintah.
4.
Integrasi mengacu pada terdapatnya konsensus terhadap nilai yang minimum yang
dibutuhkan dalam memelihara tertib sosial.
5.
Integrasi mengacu pada penciptaan pembiasaan berperilaku yang terintegrasi
serta yang diterima untuk menggapai cita-cita bersama.
FAKTOR PENDORONG DAN PENGHAMBAT INTEGRASI NASIONAL
A.FAKTOR PENDORONG BAGI TERWUJUDNYA INTEGRASI NASIONAL
1.adanya
kesamaan sejarah pergerakan bangsa Indonesia
2.cinta
kepada nusa dan bangsa
3.semangat
rela untuk berkorban
4.konsensus nasional.
B.FAKTOR PENGHAMBAT INTEGRASI NASIONAL
1.wilayah
yang sangat luas
2.heterogenitas
suku bangsa
3.etnosentrisme
yang berlebihan
4.ketimpangan
dan kemiskinan
5.intervensi
dari asing.
PROSES PEMBENTUKAN INTEGRASI NASIONAL
A.REPRESENTASI IDENTITAS
Representasi juga disebut keterwakilan yang setara dengan refleksi atau cerminan dari suatu hal. Representasi identitas berarti keterwakilan dari suatu hal berupa wilayah, daerah, kota, negara, etnis, suku, bangsa, agama, ras, golongan, gender, umur, seni, ekonomi, film, lagu, pertunjukan, bahasa, pakaian, dan kuliner.
Basis kedaerahan di Indonesia sebagai representasi identitas dapat kita simak di sejumlah wilayah. Budaya Minang dapat kita lihat representasinya antara lain dari Rumah Gadang. Identitas Budaya Aceh dapat kita lihat dari tarian saman dan seudati. Kebudayaan Betawi, identitasnya juga direpresentasikan dalam sejumlah kuliner seperti kerak telor dan selendang mayang. Lagu-lagu masyarakat Ambon di Provinsi Maluku juga merepresentasikan identitas kulturalnya.
Sementara basis religi atau agama dan relasinya dengan gender juga kalian dapat membaca representasi identitasnya pada sejumlah tulisan berikut ini:
1) Representasi Identitas Muslimah dalam
Iklan Televisi Produk Shampoo Merek Sunsilk, Wardah dan Emeron
2) novel yang ditulis oleh Asma Nadia
berjudul Jilbab Traveler direpresentasikan sebagai identitas Muslimah modern
3) identitas seorang ustadz telah
direpresentasikan coraknya dalam Proses Transmisi Pendidikan Karakter di
Pesantren
4) representasi identitas Muslim urban di
Kota Semarang dalam Tradisi Dugderan
5) identitas budaya dan representasi Islam juga terekam dalam novel berjudul The Translator yang ditulis oleh Leila Aboulela
Identitas kelompok disimbolkan dengan
tempat ibadah bagi umat beragama. Simbol tersebut antara lain berupa gambar
rumah ibadah masjid, gereja, dan pura. Kerukunan hidup antar umat beragama
dengan tindakan saling menghargai dan menghormati intern dan antar umat
beragama di Indonesia terus ditingkatkan. Perbedaan keyakinan tidak selalu
harus menyebabkan terjadinya permusuhan antar umat ber-agama.
B.REKONSTRUKSI SOSIAL BUDAYA POSKOLONIAL
Sebutan “poskolonial” adalah turunan dari “kolonial.” Sebutan “colonia” dalam bahasa Romawi berarti “tanah pertanian” ataupun “permukiman.” Sebutan ini merujuk pada orang-orang Romawi saat itu yang tinggal di negeri lain, namun masih berwarga negara Romawi. Relasi antara pendatang di lokasi baru dengan penduduk lokal dalam perkembangannya menimbulkan permasalahan relasi yang kompleks.
Studi poskolonial merupakan studi yang relatif masih baru dalam perkembangan ilmu sosial di dunia. Studi pos colonial menawarkan sebuah persektif baru dalam menganalisis dominasi negara-negara barat atas negara-negara timur. Negara barat selama ini digambarkan sebagai negara yang superior, bangsa penjajah, orang dalam, sebagai subjek dan memiliki posisi unggul sedangkan negara-negara timur diposisikan inferior, bangsa terjajah, orang luar, sebagai objek dan memiliki posisi yang rendah.
Perspektif poskolonial, yang dimaksud di sini adalah paham nasional yang disusun oleh para pelakunya, dengan maksud untuk menyatukan pemahaman bersama tentang berartinya berbagi rasa loyal kepada beragam kelompok yang berbeda secara etnik, bahasa, agama, suku, warna kulit, serta lain-lain kepada sesuatu bangsa yang lebih besar
Poskolonial dengan demikian adalah suatu gerakan untuk memberikan alternatif pada definisi dan kebenaran yang selama ini berorientasi kepada Barat (kolonialis). Gerakan poskolonial menawarkan pengertian dan definisi lokal (dari negara-negara yang semula jajahan). Karya sastra, film, lukisan dan sebagainya banyak dipelajari dan dipahami oleh warga dunia, termasuk Indonesia, dengan definisi Barat. Beberapa tokoh yang memiliki perspektif poskolonial diantaranya adalah Edward Said, Gayatri Spivak, Frantz Fanon dan Homi Bhaba.
Tonggak kelahiran teori poskolonial ditandai dengan terbitnya buku Edward W. Said (1978), Orientalism. Tesis utama buku karya Said tersebut menggunakan pendekatan hubungan antara kekuasaan dan pengetahuan. Sebagaimana diantarkan oleh Michael Foucault dalam bukunya, The Archeology of Knowledge (1972) dan Discipline and Punish: The Birth of the Prison (1977), kaum orientalis berpendapat bahwa masalah studi ilmiah Barat mengenai Timur tidaklah semata-mata didorong oleh kepentingan pengetahuan, tetapi juga kepentingan kolonialisme.
Pengetahuan bagi kaum Orientalis adalah untuk mempertahankan kekuasaanya, yakni pengetahuan yang dipenuhi dengan visi dan misi politis ideologis. Studi tersebut juga semata-mata merupakan bentuk lain atau kelanjutan dari kolonialisme. Bangsa timur dikontruksikan sebagai bangsa yang identik dengan irasionalitas, berakhlak bejat, kekanak-kanakan, dan “berbeda” dengan Barat yang rasional, bijaksana, dewasa, dan “normal”.
Nyoman Kutha Ratna dalam bukunya, Postkolonialisme
Indonesia Relevansi Sastra (2008:81—82) mengemukakan lima pokok
pengertian postkolonial, yaitu
1.menaruh perhatian untuk menganalisis era
kolonial,
2. memiliki kaitan erat dengan nasionalisme,
3.memperjuangkan narasi kecil, menggalang
kekuatan dari bawah, sekaligus belajar dari masa lampau untuk menuju masa
depan,
4.membangkitkan kesadaran bahwa penjajahan
bukan semata-mata dalam bentuk fisik, melainkan juga psikis, dan
5.bukan semata-mata teori, melainkan kesadaran bahwa banyak pekerjaan besar yang harus dilakukan, seperti memerangi imperalisme, orientalisme, rasialisme, dan berbagai bentuk hegemoni lainnya.
Poskoloialisme
juga memberikan perspektif untuk karya
sastra, film, dan sebagainya yang dikenal sebagai perspektif non Barat. Kajian tentang
rekonstruksi sosial budaya poskolonial ini membantu dalam mempelajari berbagai
masalah dalam kehidupan berbangsa dari sudut pandang lokal. Wacana poskolonial diperkenalkan dan
dipopulerkan di antaranya yang populer berupa :
1. novel, puisi, dan cerpen ;
Karya
sastra di Indonesia berupa novel, puisi, dan cerpen yang bercorak poskolonial ;
-
Postmodernisme dan Poskolonialisme dalam Karya Sastra
- Tetralogi Bumi Manusia karya Pramudya Ananta
Toer
-
Ideologi Narator dalam Novel “Malaikat Lereng Tidar” Karangan Remy Sylado;
-
Pribumi Vs Asing: Kajian Poskolonial Terhadap “Putri Cina” Karya Sindhunata;
-
Nasionalisme dalam Cerpen “Mardijker” Karya Damhuri Muhammad;
-
Resistensi dalam Novel “Hulubalang Raja” Karya Nur Sutan Iskandar;
-
Diskriminasi Bangsa Belanda dalam Novel “Salah Asuhan” Karya Abdoel Moeis;
-
Kaum Subaltern dalam Novel-Novel Karya Soeratman Sastradihardja;
-
Representasi Praktek Perbudakan dan Penindasan dalam Puisi ‘Negro’ Karya
Langston Hughes; dan
-
Mimikri dan Hibriditas Novel “Para Priyayi.”
2. seni pertunjukan dalam film dan teater :
Adapun
karya sastra di Indonesia berupa pertunjukan film atau teater dua judul
diantaranya adalah ;
-
Berpentas Melintas Batas: Memandang Praktik Pementasan Transnasional dari Lensa
Teater Postkolonial; dan
-
Melihat Islam vs Barat dalam Film “Indonesia.”
3. karya tulis ilmiah :
Sementara
tiga karya tulis ilmiah tentang rekonstruksi sosial budaya poskolonial adalah ;
-
Mempersoalkan Ilmu Sosial Indonesia yang American-minded
-
Negara Hukum Indonesia: Dekolonisasi dan Rekonstruksi Tradisi
-
Poskolonialisme dan Spiritualisme Timur
REFERENSI
:
Clifford
Geertz, Politik Kebudayaan, Jakarta : Kanisius, 1992
Clifford
Geertz, Penjaja dan Raja, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1992
John
Clammer, Neo Marxisme Antropologi, Yogyakarta : Sadasiva, 1985
Koentjaraningrat,
Sejarah Teori Antropologi 1, Jakarta : UI-Press, 2014
Koentjaraningrat,
Sejarah Teori Antropologi 1, Jakarta : UI-Press, 2007
Louis
Firth, Ciri-ciri dan Alam Hidup Manusia, Suatu Pengantar Antropologi Budaya,
Bandung ; Sumur Bandung, 1961
William
A.Haviland, Antropologi 1, Jakarta ; Erlangga, 1985
Firth,
Ciri-Ciri Alam Hidup Alam Manusia, Suatu Pengantar Antropologi
Budaya,
Bandung ; Sumur Bandung, 1961
John
Clammer, Neo Marxisme Antropologi, Yogyakarta ; Sadasiva, 2003
Jonathan
Turner, Fungsionalisme, Yogyakarta ; Pustaka
Koentjaraningrat,
Pengantar Antropologi, Jakarta ; Aksara, 1062
Parsudi
Suparlan, Dari Masyarakat Majemuk Menuju Masyarakat Multikultural, Jakarta ;
YPKIK, 2008
Ralp
Linton, Antropologi, Suatu Penyelidikan Tentang Manusia, Bandung : Jemmars1984
KM Antropologi_BS_KLS_XII
[www.defantri.com].pdf
https://badanbahasa.kemdikbud.go.id/artikel-detail/790/kritik-postkolonial:-jaringan-sastra-atas-rekam-jejak-kolonialisme
Komentar
Posting Komentar