KEBUDAYAAN GELANDANGAN

 

KEBUDAYAAN GELANDANGAN

 

KILAS PANDANG MENGENAI KEBUDAYAAN

Kebudayaan adalah suatu kumpulan pedoman atau pegangan yang kegunaan operasional dalam hal manusia mengadaptasi diri dan dengan  menghadapi lingkungan-lingkungan tertentu baik lingkungan fisik, lingkungan sosial, lingkungan alam maupun lingkungan kebudayaan untuk mereka dapat tetap melangsungkan kehidupannya, yaitu memenuhi kebutuhan-kebutuhannya dan untuk dapat hidup secara lebih baik lagi. Oleh karena itu kebudayaan seringkali dinamakan sebagai cetak biru atau disain menyeluruh dari kehidupan.

Penggunaan kebudayaan oleh para pendukungnya dalam kehidupan nyata yaitu bagaimana terwujud dalam tindakan sehari-hari dalam kehidupan sebagai warga masyarakat hanya mungkin terjadi karena adanya pranata-pranata  sosial yang dimiliki oleh masyarakat untuk usaha-usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan sosial yang utama tertentu yang dirasakan perlunya oleh para warga masyarakat yang bersangkutan.

Sebuah kebudayaan tidak diwariskan secara genetika, tetapi diperoleh manusia setelah kelahirannya melalui proses belajar. Manusia dapat mempelajari sesuatu karena mempunyai kesanggupan untuk membuat dan memahami ide-ide yang abstrak serta mewujudkan kelakuan simbolik. Landasan terutama dari adanya kesanggupan tersebut adalah karena manusia mempunyai bahasa.

Kebudayaan diperoleh manusia melalui pendidikan baik secara formal maupun secara tidak formal dengan melakukan peniruan-peniruan dan mengabsorsikannya ke dalam pengetahuan mereka, baik secara sadar maupun tidak sadar.

Proses ini bersifat menyerap serta mencakup semua aspek kehidupan manusia dalam kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan manusia yang penyerapannya berlangsung secara samar-samar dan lambat tetapi pasti dan tetap, sehingga , bahkan , memengaruhi bentuk-bentuk dan corak-corak kelakuan, sikap-sikap, dan keyakinan-keyakinan yang amat terperinci.

Penyerapan atau penerimaan kebudayaan juga bersifat mendalam dan menyeluruh terhadap pribadi-pribadi pendukungnya, sebagaimana terwujud dalam cara berfikir, merasakan, berbicara dan bertindak. Kebudayaan adalah milik masyarakat dan bukan milik seorang individu. Dengan kata lain, individu-individu yang menjadi warga masyarakat adalah para pemilik dan pendukung kebudayaan masyarakat tersebut.

Kebudayaan dapat dilihat sebagai pengetahuan dan keyakinan-keyakinan yang dipunyai manusia mengenai dirinya dan lingkungannnya beserta segala isinya, dan posisinya dalam lingkungan yang dikonsepsikan tersebut. Lingkungan yang dimaksud mencakup lingkungan fisik, alam, sosial dan budaya.

Isi dari setiap kebudayaan adalah konsep-konsep dengan masing-masing sistem maknanya, aturan-aturan atau norma-norma, resep-resep, formula-formula, petunjuk-petunjuk serta larangan-larangan dan nilai-nilai.

Inti atau puncak dari kebudayaan adalah nilai-nilai yang dipunyai dan yang ada dalam kebudayaan yang bersangkutan yang biasanya dinamakan nilai-nilai budaya.

Dalam setiap kebudayaan terdapat nilai-nilai budaya yang baku, yang tidak berubah dari waktu ke waktu, sebagai nilai-nilai yang ideal yang ada dalam setiap kebudayaan, yang biasanya dinamakan sebagai pandangan hidup atau world view.

Disamping itu dalam setiap kebudayan terdapat nilai-nilai budaya yang operasional dalam kegiatan kehidupan manusia yang acuannya adalah nilai-nilai budaya yang ideal yang dinamakan etos. Etos adalah sesuatu nilai yang tidak baku yang dapat berubah sesuai perubahan waktu dan situasi yang dihadapi oleh pelaku dan biasanya terwujud dalam bentuk tradisi seperti mislanya etos kerja orang Indonesia tinggi di masa lampau dibandingkan dengan etos kerja di masa sekarang, artinya nilai-nilai yang mendasari semangat, ketekunan dan kepatuhan pada disiplin kerja orang Indonesia tinggi di masa lampau dibandingkan dengan masa sekarang.

Isi mendasar dari setiap kebudayaan adalah sistem-sistem penggolongan. Segala sesuatu yang ada dalam kehidupan manusia digolong-golongkan, termasuk diri manusia itu sendiri. Penggolongan yang mendasar adalah pembagian dalam dua golongan, yang masing-masing berlawanan atau bertentangan satu dengan lainnya. Penggolongan menjadi dua biasanya diantarai oleh golongan ketiga yang berada di tengah dan mengantarai dua golongan yang saling bertentangan.

Pembagian dua misalnya adalah kiri dan kanan. Kiri dan kanan diantarai oleh tengah. Penggolongan keempat adalah dalam empat, yang digunakan untuk menggolongkan alam ini dalam empat arah mata angin. Dalam kebudayaan Jawa, penggolongan menjadi empat ini dikendalikan oleh unsur kelima yang pusatnya. Penggolongan menjadi empat dalam kebudayaan Jawa dikenal dengan nama mancapat atau empat diluar.

Setiap kebudayaan juga berisikan teori-teori mengenai hakekat hubungan diantara konsep-konsep yang digunakan sebagi acuan penjelasan bagi sesuatu atau serangkaian gejala yang dihadapi manusia dalam kehidupan. Teori-teori tersebut  berkembang menjadi lebih kompleks dan lebih sempurna serta mantab karena teori atau teori-teori yang telah tidak dapat digunakan untuk menjelaskan sesuatu gejala yang dihadapi oleh manusia, karena teori tersebut telah dianggap tidak benar, maka akan dibuang dan digantikan oleh sesuatu teori yang baru.

Dengan demikian sebuah kebudayaan berisikan konsep-konsep, metode-metode, dan teori-teori mengenai diri manusia dan lingkungan beserta isinya dimana ia hidup. Fungsi dari kebudayaan atau konsep-konsep, metode-metode dan teori-teori tersebut adalah sebagai pedoman bagi kehidupannya dalam menghadapi dan memanfaatkan lingkungan beserta isinya untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidupnya sebagai manusia.

Konsep-konsep, metode-metode dan teori-teori digunakan secara selektif dalam menghadapi sesuatu lingkungan tertentu dan hasil seleksi ini disesuaikan dengan motivasi dan tujuan yang ingin dicapai dalam sesuatu pemenuhan kebutuhan hidup sebagai manusia atau disesuaikan dengan sesuatu rangsangan atau stimuli tertentu dari lingkungan yang dihadapinya.

 

KEBUDAYAAN GELANDANGAN

Keberadaan gelandangan nampaknya sudah melekat erat dengan struktur masyarakat perkotaan. Bukan saja di negara-negara miskin dan berkembang, di negara-negara yang maju sekalipun fenomena gelandangan juga dapat mudah ditemukan.

Bahkan menurut Parsudi Suparlan yang banyak melakukan penyelidikan mengenai kehidupan golongan gelandangan mengatakan bahwa semakin besar tingkat perkembangan kota maka semakin banyak pula jumlah orang gelandangannya.

Hal ini menimbulkan kesan bahwa adanya gelandangan itu disebabkan karena adanya kota, dan adanya orang gelandangan  dalam jumlah yang banyak sehingga mewujudkannya sebagai masalah sosial di kota adalah sebuah konsekuensi dari perkembnagan kota.

Sebenarnya  masalah adanya gelandangan di kota bukan semata-mata karena perkembangan sebuah kota, tetapi justru karena adanya tekanan-tekanan ekonomi dan rasa tidak aman sebagian warga desa dan yang kemudian terpaksa harus mencari tempat yang diduga dapat memberi kesempatan bagi suatu kehidupan yang lebih baik di kota.

Sesungguhnya memang kotalah yang dapat menampung pendatang-pendatang baru untuk bermukim dan hidup dalam wilayahnya. Ini dimungkinkan karena struktur sosial, ekonomi, dan administrasi yang ada di dalam kota lebih kompleks daripada yang ada di desa, sehingga dapat menampung pendatang-pendatang baru, bukan hanya yang kaya dan terpelajar saja, tetapi juga yang miskin dan papa. Karena itulah timbul kesan, bahwa adanya kota telah melahirkan adanya orang gelandangan.

Fenomena gelandangan di kota-kota besar menunjukkan adanya ketimpangan sosial yang nyata di dalam masyarakat. Di kawasan perkotaan ternyata didapati bukan saja mereka yang hidup berkecukupan dan memiliki harta dan fasilitas kehidupan yang melimpah, di dalam kota juga terdapat kelompok marjinal yag hidup serba kekurangan.

Gelandangan adalah sebuah fenomena sosial di daerah perkotaan. Hampir semua kota di Indonesia ditemui adanya kelompok masyarakat ini. Gelandangan mempunyai dimensi kehidupan sosial yang luas seperti dimensi sosial, psikologis, dan dimensi ekonomi.

Para gelandangan adalah golongan masyarakat miskin. Bahkan dapat dikatakan bahwa mereka adalah golongan masyarakat yang paling miskin. Dibandingkan dengan orang miskin lainnya, para gelandangan tidak mempunyai prasyarat untuk hidup secara layak.

Mereka terutama sekali tidak mempunyai rumah tempat tinggal yang dapat menjadikan mereka dan eluarga mereka hidup secara layak dan manusiawi. Mereka kerap tinggal di sembarang tempat seperti di emperan toko dan di bawah kolong jembatan.

Mereka juga kerap menempati sejumlah fasilitas publik untuk bisa sekedar tidur melewatkan malam seperti di gerbong-gerbong kereta yang kosong, di tepi-tepi sungai dan di sepanjang jalan kereta api. Hal itu mereka lakukan karena ketiadaan uang yang mereka miliki untuk dapat menyewa kos-kosan, kontrakan atau sekedar rumah semi permanen yang disewakan.

Bahkan dalam sejumlah kasus, para gelandangan bahkan menempati kawasan pekuburan dan harus kucing-kucingan dengan aparat dan aparatur kota. Mereka dan kawan-kawan senasib berprinsip , menempati tempat tertentu terlebih dahulu dan menerima resiko belakangan.

Meski demikian ada juga sekelompok gelandangan yang awalnya menempati suatu daerah secara ilegal dan kemudian membangun bangunan liar dalam perkembangannya mereka menjadi penduduk sah dari kota yang bersangkutan.

Kehidupan para gelandangan sanagt tidak layak dan tidak sesuai dengan ukuran nilai kemanusiaan. Mereka seringkali terpaksa makan makanan sisa buangan di tempat sampah. Pakain mereka juga tidak layak pakai. Yang mereka pakai adalah pakaian yang sudah lusuh, bau, dan compang-camping.

Para gelandangan adalah golongan masyarakat miskin atau dimiskinkan oleh masyarakatnya. Mereka adalah orang yang disingkirkan dari kehidupan khalayak ramai, sehingga mereka hidup terisolir. Gelandangan merupakan pola hidup atau cara hidup agar mampu bertahan dalam kemiskinan dan keterasingan.

Gelandangan seringkali mendapatkan stigma sosial yang negatif dari masyarakat sekitarnya. Keberadaan mereka dianggap sebagai pengganggu ketertiban dan merusak keindahan kota, sehingga para gelandangan seringkali menjadi sasaran razia dari aparat Satuan Polisi Pamong Praja.

Keberadaan para gelandangan yang sering lalu lalang di kawasan pusat kota dianggap mengganggu ketertiban dan keindahan kota di mata para pengambil kebijakan dan penguasa kota. Para gelandangan dinilai dapat memberikan kesan jelek dan terbelakang di mata tamu-tamu dari negara-negara asing.

Para gelandangan adalah kelompok masyarakat yang memiliki posisi terendah dalam struktur sosial masyarakat. Keberadaan mereka tidak diakui oleh masyarakat dan dianggap sebagai bentuk disfungsi dari struktur sosial yang ada.

Selain itu mereka juga distigma sebagai orang-orang yang malas, tidak berpendidikan, kotor dan jorok. Bahkan ada juga penduduk kota dan aparat pemerintahan yang mencurigai para gelandangan memiliki motif-motif kriminal.

Memang ada gelandangan yang “terpaksa”  mencari sesuap nasi dengan cara-cara ilegal seperti mencuri menjadi copet atau hidup melacur, akan tetapi hal itu mereka lakukan sebagai bentuk strategi adaptasi dalam menjani kehidupan mereka yang keras.

Stereotip masyarakat terhadap para gelandangan tersebut seringkali tidak benar. Dalam studi yang dilakukan oleh Parsudi Suparlan terbukti bahwa banyak di antara para gelandangan itu yang merupakan pekerja keras. Mereka ternyata banyak yang bekerja keras secara legal dan tidak malas, walaupun tetap saja pendapatan yang mereka terima sehari-hari jauh dari memadai.

Istilah gelandangan berasal dari kata “gelandang’ yang berarti ‘yang selalu megembara”, yang “berkelana”. Para gelandangan adalah mereka yang tidak mempunyai pekerjaan tetap dan layak serta tidak memiliki tempat tinggal menetap dan layak. Para gelandangan juga kerap makan di sembarang tempat.

Menurut Parsudi Suparlan, masyarakat gelandangan dalah sejumlah orang yang bersama-sama mempunyai tempat tinggal relatif tidak tetap dan mata pencaharian yang relatif tidak tetap serta yang dianggap rendah dan hina oleh orang-orang di luar masyarakat kecil itu atau suatu masyarakat yang lebih luas ;  tindakan-tindakan yang dilakukan oleh anggota-anggotanya serta norma-norma yang ada pada masyarakat gelandangan tersebut dianggap tidak pantas dan tidka dibenarkan oleh golongan-golongan lainnya dalam masyarakat yang lebih luas yang mencakup masyarakat kecil itu. (Suparlan, 2008)

Fenomena gelandangan muncul sebagai dampak dari urbanisasi. Perpindahan mereka dari desa tempat asal mereka ke kawasan perkotaan disebabkan karena kehidupan di desa tidak menjanjikan.

Pekerjaan sebagai petani dan peternak di kampung halaman semakin tidak dapat memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. Gagal panen, sulitnya memperoleh pupuk, jeratan rentenir kerap menjadikan banyak orang desa meninggalkan kehidupan tradisionil mereka sebagai petani.

Sebaliknya, mereka melihat kehidupan kota dengan segala gemerlapnya sebagai kehidupan yang menjanjikan. Mereka punya harapan tinggi akan adanya perubahan nasib mereka kalau mereka pindah ke kota. Apalagi mereka juga sering mendapatkan informasi keberhasilan kawan-kawan mereka yang sudah lama pindah ke kota.

Keberadaan para urban yang kemudian menjadi gelandangan ini sulit dicegah oleh pemerintah kota setempat, mengingat adanya kesulitan untuk melakukan pengawasan terhadap para pendatang yang berasal dari desa. Pemerintah kota kerap melakukan sejumlah langkah untuk mengendalikan arus urbanisasi seperti melakukan operasi yustisi, namun tetap saja hal tersebut tidak mampu menahan arus masuknya pendatang dari desa ke kota-kota besar.

Keberadaan gelandangan dan urbanisasi nampaknya memiliki korelasi yang kuat. Terdapat korelasi yang tinggi antara banyaknya gelandangan dengan tingkat urbanisasi suatu daerah. Artinya, makin tinggi derajat urbanisasi—baik dalam pengertian kualitatif maupun kuantitatif—maka makin besar pula jumlah tuna wisma di daerah perkotaan itu.

Menjadi gelandangan merupakan peran yang sulit dijalankan. Mereka mengalami kesulitan untuk dpaat hidup secara normal sebagaimana golongan sosial lainnya. Para gelandangan harus mengubur dalam-dalam mimpi-mimpi mereka sejak kecil. Tidak banyak pekerjaan yang dapat mereka lakukan. Yang jelas mereka tidak dapat memasuki sektor ekonomi formal seperti menjadi buruh atau pegawai kantoran.

Pekerjaan yang digeluti oleh para gelandngan bervariasi. Ada yang legal dan juga yang ilegal. Ada gelandangan yang hidup dari kegiatan mengumpulkan barang-barang bekas yang masih memiliki nilai jual dari tempat-tempat sampah.

Sebagian gelandangan juga ada yang menjadi penarik becak dan  pedagang kaki lima. Selain itu ada juga profesi ilegal yang dijalani oleh sebagian gelandangan baik yang bersifat individual maupun yang terorganisir seperti mencuri dan menjadi pelacur.

 

REFERENSI :

 

Clifford Geertz, Politik Kebudayaan, Jakarta : Kanisius, 1992

 

Clifford Geertz, Penjaja dan Raja, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1992

 

John Clammer, Neo Marxisme Antropologi, Yogyakarta : Sadasiva, 1985

 

Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi 1, Jakarta : UI-Press, 2014

 

Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi 1, Jakarta : UI-Press, 2007

 

Louis Firth, Ciri-ciri dan Alam Hidup Manusia, Suatu Pengantar Antropologi Budaya, Bandung ; Sumur Bandung, 1961

 

William A.Haviland, Antropologi 1, Jakarta ; Erlangga, 1985

 

Firth, Ciri-Ciri Alam Hidup Alam Manusia, Suatu Pengantar Antropologi

 

Budaya, Bandung ; Sumur Bandung, 1961

 

John Clammer, Neo Marxisme Antropologi, Yogyakarta ; Sadasiva, 2003

 

Jonathan Turner, Fungsionalisme, Yogyakarta ; Pustaka

 

Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, Jakarta ; Aksara, 1062

 

Parsudi Suparlan, Dari Masyarakat Majemuk Menuju Masyarakat Multikultural, Jakarta ; YPKIK, 2008

 

Ralp Linton, Antropologi, Suatu Penyelidikan Tentang Manusia, Bandung : Jemmars1984

 

 

T.O.Ihromi, Pokok-Pokok  Antropologi Budaya, Jakarta : Pustaka Obor Indonesia, 2016

 

 

 

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TAWURAN SEBAGAI SUATU GEJALA SOSIAL (ANALISIS SOSIOLOGIS KONFLIK SOSIAL DI PERKOTAAN)

SOSIOLOGI PEMBUNUHAN

RERA (REKONSTRUKSI DAN RASIONALISASI) ; UPAYA PENATAAN ANGKATAN BERSENJATA