MAKNA RITUS KEMATIAN MENURUT HERTZ
MAKNA RITUS
KEMATIAN MENURUT HERTZ
Masyarakat
Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa dikenal sebagai bangsa
yang relijius. Kepercayaan yang kuat
terhadap agama disertai pula dengan kepercayaan terhadap magi di dalam
upacara-upacara kelahiran, turun tanah, perkawinan , kematian daln lain-lain
yang semuanya termasuk bagian dari ritus krisis, asass-asas religi kepercayaan
akan magi inilah yang memainkan peran penting.
Religi
dan upacara religi memang merupakan suatu unsur dalam kehidupan masyarakat
suku-suku bangsa manusia di dunia yang telah banyak menarik perhatian para pengarang
etnografi dan merupakan suatu topik yang paling banyak dideskripsikan dalam
kepustakaan etnografi, terutama pada abad 19.
Seorang
ahli antropologi dari Prancis, R.Hertz memberikan perhatiannya mengenai
berbagai ritus peralihan dan upacara kematian yang ada di dunia. Menurut
Hertz,Sebagian besar dari perilaku manusia dalam masyarakat sangat banyak
dipengaruhi dan ditentukan oleh gagasan orang banyak, atau “gagasan kolektif”
yang hidup di masyarakat itu.
Sebagai
seorang pengikut Emile Durkheim, Hertz menganggap bahwa upacara kematian selalu
dilakukan manusia dalam rangka adat istiadat dan struktur sosial dari
masyarakatnya, yang berwujud sebagai gagasan kolektif. Dengan demikian Analisa
terhadap upacara kematian harus lepas dari segala perasaan pribadi para pelaku
upacara teradap orang yang meninggal, dan harus dipandang dari sudut gagasan
kolektif dalam masyarakat tadi.
Dari
sini Hertz melihat bahwa gagasan kolektif mengenai gejala kematian yang
terdapat dalam banyak suku bangsa di dunia adalah gagasan bahwa mati itu
berarti suatu proses peralihan dari suatu kedudukan sosial yang tertentu ke kedudukan
sosial yang lain.
Dalam
peristiwa kematian, manusia beralih dari suatu kedudukan sosial dalam dunia ke
suatu kedudukan sosial dalam dunia makhluk halus. Dengan demikian maka upacara
kematian tidak lain daripada upacara inisiasi. Dengan konsep ini, Hertz
menunjukkan bagaimana dalam rangka upacara kematian dari banyak suku bangsa di
dunia didasari oleh lima anggapan yang juga ada di belakang upacara inisiasi
pada umumnya. Kelima anggapan itu adalah :
1.anggapan
bahwa peralihan dari satu kedudukan sosial ke kedudukan sosial yang lain adalah
suatu masa krisis, suatu masa penuh bahaya gaib, tidak hanya bagi individu yang
bersangkutan, tetapi juga bagi masyarakat secara keseluruhan
2.anggapan
bahwa jenazah dan juga semua orang yang ada hubungan dekat dengan orang yang meninggal itu dianggap
mempunyai sifat keramat (sacre)
3.anggapan
bahwa peralihan dari suatu kedudukan sosial ke kedudukan sosial lain itu tidak
dapat berlangsung sekaligus, tetapi setingkat demi setingkat, melalui serangkaian
masa antara yang lama
4.anggapan
bahwa upacara inisiasi harus mempunyai tiga tahap, yaitu tahap yang melepaskan
si objek dari hubungannya dengan masyarakat yang lama, tingkat yang
mempersiapkannya ke dalam kedudukan yang baru
5.anggapan
bahwa dalam tingkat persiapan dari masa inisiasi, si objek merupakan seorang
makhluk yang lemah sehingga harus dikuatkan dengan berbagai upacara ilmu gaib.
Tidak
hanya bagi orang yang meninggal suatu upacara kematian itu merupakan suatu
inisiasi, juga bagi kaum kerabatnya yang dekat. Ini disebabkan karena mereka
berhubungan dekat dengan sesuatu hal yang keramat (sacre) dan karena itu mereka
juga menjadi sacre.
Dengan
demikian upacara kematian itu mengandung berbagai unsur yang bagi kerabat itu
berarti suatu inisiasi peralihan dari anggota dunia biasa menjadi anggota dunia
keramat. Dan nanti apabila syarat-syarat bagi orang yang sudah meninggal itu
sudah dipenuhi seluruhnya, maka akn ada upacara-upacara bagi kaum kerabat yang
meninggal, yang berupa suatu peralihan dari alam sacre kembali ke alam
dunia biasa.
Selanjutnya
menurut Hertz, upacara kematian dari berbagai suku bangsa seperti di Kalimantan
terdiri dari tiga tingkatan, yaitu :
1.
Sepulture
provisore, Yaitu pemakaman sementara
2.
Periode
intermediate, yaitu masa antara yang biasanya berlangsung tiga hingga lima
tahun, dalam waktu mana para kerabat dekat orang yang meninggal itu hidup dalam
keadaan sacre. Mereka harus menaati beberapa pantangan dan dilarang berhubungan
dengan manusia lain kecuali dengan syarat-syarat tertentu.
Disamping
itu mereka berkewajiban untuk memelihara roh orang yang meninggal itu, yang
dalam jangka waktu itu dianggap masih tetap berada di sekitar tempat tinggal
manusia. Jadi selama roh itu belum terlepas sama sekali dari kedudukan
sosialnya yang lama diantara orang-orang di alam dunia ini. Kecuali dengan
sajian, para kerabatnya juga harus melakukan berbagai upacara yang maksudnya
memperkuat kesaktian roh itu, dan mempersiapkannya untuk menempati kedudukannya
yang baru nanti di dunia baka.
3.
Ceremonie
finale, kedudukan yang baru untuk roh yang meninggal itu dicapai pada fase ini,
yaitu upacara dimana tulang-tulang dan sisa-sisa jasmani orang yang meninggal
itu digali lagiu dan kadang-kadang setelah itu dibakar, lalu ditempatkan di
pemakamannya yang tetap.
Kecuali
itu ada upacara yang maksudnya meresmikan kedatangan roh orang yang meninggal
itu di antara roh nenek moyangnya di dunia makhluk halus. Sedangkan bagi kaum
kerabat yang masih hidup itu ada upacara yang maksudnya mengalihkan mereka itu
dari keadaan mereka yang sacre ke keadaan yang biasa kembali di dalam kehidupan
sosial sehari-hari.
Upacara
kematian sebagai upacara inisiasi rupanya memiliki kemiripan dengan upacara
kelahiran dan pernikahan. Pada kelahiran, seseorang individu beralih dari alam
gaib kea lam hidup, sedangkan pada kematian ia beralih dari alam hidup ke alam
gaib.
REFERENSI
:
Koentjaraningrat,
Ritus Peralihan di Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1985
Komentar
Posting Komentar