SOSIOLOGI PERCERAIAN


SOSIOLOGI PERCERAIAN



PENGANTAR

Perceraian merupakan salah satu fenomena yang ada di dalam masyarakat. Perceraian terdapat dalam semua bentuk masyarakat, baik masyarakat tradisional maupun masyarakat modern. Akan tetapi, perceraian cenderung lebih banyak terjadi dalam masyarakat yang sudah modern. Hal itu selain karena semakin terbukanya informasi, juga disebabkan terjadinya perubahan struktural yang berpengaruh kepada lembaga keluarga.

Tidak ada masyarakat yang tidak mengalami perceraian, akan tetapi yang membedakan antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain adalah cara-cara melakukan perceraian, syarat-syaratnya, dan prosedur-prosedurnya. Misalnya, di dalam masyarakat katolik, perceraian merupakan sebuah hal yang terlarang, walaupun dalam praktiknya perceraian tetap terjadi juga, sedangkan dalam masyarakat Islam, perceraian terjadi dengan syarat-syarat tertentu.

Ada masyarakat yang memiliki prosedur perceraian yang sangat mudah. Si suami hanya perlu berkemas dan pergi meninggalkan istrinya, atau si istri cukup memerintahkan suaminya untuk meninggalkan rumah, tetapi ada juga masyarakat yang memiliki prosedur perceraian yang sangat rumit dan sukar untuk dilaksanakan.

Struktur sosial dan keluarga beberapa masyarakat memungkinkan perceraian tanpa ada banyak kesulitan atau tanpa prosedur yang berbelit-belit. Dalam beberapa masyarakat yang kurang menekankan cinta romantis dan cinta pribadi yang mendalam, perceraian tidak mengakibatn kehancuran yang fatal.

Bila keluarga hubungan sedarah (consanguinal) atau kelompok kerabat tetap memberikan dukungan kepada anak dan istri yang ditinggalkan oleh suami dan ayahnya, maka perpisahan anak dengan ayah karena perceraian tidak terlalu menimbulkan permasalahan. 

Arti perceraian dalam hal ini berkaitan dengan berbagai aspek dari lembaga keluarga lainnya. Sebaliknya, perceraian yang terjadi dalam keluarga batih yang terlalu menekankan pada kasih sayang pribadi dan kesatuan keluarga akan dapat mengakibatkan goncangan psikologis dan menggangu emosi anak yang ditinggalkan salah satu orang tuanya.

Sebagaimana dengan perkawinan, perceraianpun memiliki sejumlah aturan dan ritual tertentu. Aturan mengenai perceraian tidak hanya perlu untuk memisahkan kekayaan dan mengembalikan hadiah-hadiah, akan tetapi terutama untuk mengatur persoalan siapa yang memiliki hak pengasuhan anak, status anak dan bagaimana keturunan dari anak-anak itu diatur selanjutnya. 

Perceraian memiliki sejumlah aturan dikarenakan perceraian, sebagaimana dengan perkawinan bukan saja merupakan kepentingan dari kedua suami dan istri, tetapi juga menjadi kepentingan dari keluarga besar dari kedua pasangan tersebut.

Dalam masyarakat modern juga terjadi pergeseran makna terhadap perkawinan dan perceraian. Masyarakat modern tidak lagi menganggap perkawinan sebagai sebuah ikatan sehidup-semati, akan tetapi perkawinan dianggap hanya sebagai suatu ikatan antara seorang laki-laki dan perempuan untuk mencapai kebahagiaan bersama.

Apabila kebahagiaan tersebut sudah tidak lagi didapat, maka keduanya dapat memutuskan untuk bercerai. Demikian pula dengan perceraian. Perceraian tidak lagi dianggap sebagai seseatu tahu yang harus dihindarkan. Perceraian dalam masyarakat modern dinilai sebagai sebagai suatu hal yang lumrah.

Menurut Sanderson (2003), tingkat perceraian pada umumnya telah mengalami peningkatan sejak pertengahan abad 19. Di negara-negara Barat, tingkat perceraian ini mengalami pelonjakan selama Perang Dunia II, kemudian kembali ke tingkat sebelum perang dan tetap stabil sejak tahun 1940-an sampai awal tahun 1960-an. Sejak itu tingkat perceraian naik dengan tajam, dari  sekitar 9 perceraian per 1000 wanita yang kawin dlaam tahun 1978.

Walaupun tingkat perceraian relatif meningkat terutama di negara-negara Barat, akan tetapi hal tersebut tidak mengancam keberlangsungan kelaurga sebagai sebuah lembaga. Berdasarkan data statistik, sekitar 90 % orang masih memilih pernikahan, dan orang-orang yang menjalankan perceraian sekalipun terdapat kecenderungan untuk kembali melakukan perkawinan. Artinya, lembaga keluarga dan perkawinan tidak mengalami kehancuran sebagai sebuah lembaga, meskipun sudah sangat berbeda dari apa yang dahulu pernah ada.


TEORI FUNGSIONALISME STRUKTURAL

PREMIS DASAR TEORI STRUKTURAL FUNGSIONAL

Masyarakat dianggap sebagai suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian atau elemen yang saling berkaitan dan menyatu dalam keseimbangan

Keseimbangan atau ekualibrium dipelihara oleh dua mekanisme sosial, yaitu sosialisasi dan pengawasan sosial atau kontrol sosial

Setiap unsur dalam sistem sosial bersifat fungsional terhadap yang lain

Sistem sosial cenderung bergerak ke arah integrasi

Menganggap masyarakat akan selalu berada pada situasi harmoni, stabil,seimbang dan mapan

Integrasi terbentuk karena adanya konsensus diantara seluruh anggota masyarakat

Perubahan yang terjadi pada satu unsur/bagian akan berpengaruh pada bagian lainnya

Perubahan terhadap sistem sosial terjadi karena inovasi dan pengaruh luar yang mendorong terjadinya diferensiasi sosial yang makin kompleks

Disfungsi,ketegangan dan konflik hanya bersifat sementara

Sejumlah gejala disfungsi yang terjadi dalam struktur sosial seperti perang, ketidaksamaan sosial, dan kemiskinan “diperlukan oleh masyarakat”

Perubahan sosial terjadi secara perlahan-lahan dalam masyarakat, atau berlangsung secara gradual

Kalau terjadi konflik dalam masyarakat perhatian utamanya bukan pada sebab terjadinya konflik, akan tetapi lebih pada bagaimana cara menyelesaikannya.


PERSPEKTIF FUNGSIONALISME STRUKTURAL MENGENAI PERCERAIAN

♦ Perceraian terjadi sebagai akibat dari munculnya berbagai lembaga sosial lain yang mengambilalih banyak fungsi lembaga keluarga. Akibatnya, hubungan yang selama ini mengikat anggota keluarga makin melemah dan akhirnya perkawinanpun menjadi rentan seingga terjadilah perceraian. (Henslin,2007)

♦ Teori fungsional beranggapan bahwa terjadinya perceraian disebabkan oleh melemahnya hubungan salingtergantung antara suami dan istri. Suami atau istri dapat hidup secara terpisah dan dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, termasuk kebutuhan seksualnya tanpa melalui ikatan perkawinan.

♦ Teori fungsional menganggap perceraian terjadi akibat adanya disfungsi dalam ikatan perkawinan. Disfungsi tersebut dapat berupa gagalnya seorang suami atau istri dalam menjalankan peranannya yang sudah ditentukan secara tradisional.

♦ Teori fungsional berpendapat terjadinya perceraian disebabkan oleh adanya Anomie yang dialami oleh suami atau istri. Ketidakcocokan antara suami atau istri, baik terkait dengan perbedaan latar belakang sosial primordial maupun karena perbedaan kelas sosial mengakibatkan suami atau istri mengalami kebingungan. Mereka satu sama lain tidak dapat saling memahami akibat buruknya proses adaptasi diantara keduanya.

♦ Teori fungsional akhirnya menganggap perceraian juga bersifat fungsional. Artinya, dengan adanya perceraian, permasalahan yang dialami oleh suami atau istri akan dapat diatasi. Misalnya, seorang istri yang selama dalam ikatan perkawinan sering mendapatkan kekerasan dari suaminya akan terbebas dengan adanya perceraian. Perceraian, selain berfungsi sebagai jalan kleuar dari persoalan rumah tangga, sekaligus dapat juga menjadi awal dari kehidupan baru yang lebih baik.

♦ Menurut Robert K.Merton, industrialisasi  dan urbanisasi telah memberikan kontribusi terhadap perubahan fungsi pernikahan dan keluarga yang berefek pada terjadinya perceraian.

♦ Analis fungsional menganggap bahwa perceraian terjadi dikarenakan oleh terjadinya diferensial struktural. Perceraian banyak terjadi disebabkan oleh terjadinya perubahan-perubahan ekonomi yang mendasar yang meliputi partisipasi perempuan dalam angkatan kerja. Kaum perempuan yang memasuki angkatan kerja berjumlah cukup besar sehingga hal ini mengakibatkan membesar pula kekuasaan ekonomi mereka.

Kondisi ini kemudian mengurangi ketergantungan perempuan terhadap suami mereka. Oleh karena itu mereka cenderung untuk tidak lagi mempertahankan perkawinan mereka yang tidak menyenangkan. Pada masa lalu perempuan sering merasa bahwa mereka sedikit saja mempunyai kesempatan untuk mengakhiri suatu perkawinan yang tidak mendatangkan kebahagiaan karena mereka sendiri akan mengalami kesulitan besar dalam menghidupi diri mereka sendiri dan anak-anak mereka.

Tetapi hal ini kemudian berubah secara dramatis dengan adanya perubahan-perubahan dalam perimbangan kekuasaan itu maka harapan kaum perempuan tentang perkawinan telah berubah pula. Mereka mengharapkan lebih banyak dari perkawinan itu, dan cenderung mengakhirinya dengan cepat apabila tidak sesuai dengan harapan-harapan mereka.

TEORI INTERAKSIONISME SIMBOLIK

ASUMSI DASAR  TEORI INTERAKSIONISME SIMBOLIK

♦ Konsep diri manusia mencul melalui proses interaksi

♦ interaksi tersebut membutuhkan simbol-simbol tertentu sebagai media interaksi

♦ simbol tersebut dapat berbentuk bahsa, tulisan, bahasa tubuh dan lain sebagainya

♦ masyarakat /kehidupan sosial merupakan  realitas subjektif

♦ manusia bukan semata-mata produk dari struktur

♦ manusia adalah aktor yang bebas

♦ realitas sosial merupakan sebuah proses yang dinamis

♦ menusia dan realitas sosial / aturan sosial berada dalam proses akan jadi, bukan sebagai fakta yang sudah lengkap

♦ teori interaksionisme simbolik sangat mengagumi kemampuan diri sang aktor (manusia) dalam menggunakan simbol ; ia menyatakan bahwa diri sang aktor bertindak berdasarkan makna simbol yang muncul dalam situasi tertentu

♦ menekankan pada korelasional pada simbol dan interaksi

♦ beranggapan bahwa simbol-simbol dalam interaksi sosial merupakan embrionikal dari masyarakat (society)

♦ menganggap diri sang aktor sebagai subjek dan sekaligus objek dalam komunikasi yang sedang berlangsung sehingga tidak menutup kemungkinan terjadinya proses saling memengaruhi antara komunikator dan komunikan bahkan terhadap realitas sosial itu sendiri

♦ menganggap bahwa interaksi sosial yang terjadi dalam skala kecil berperan membentuk struktur sosial dlaam skala besar

♦ menganggap bahwa manusia memiliki kemampuan untuk berfikir dan berkomunikasi secara simbolik dengan dirinya sendiri (internalitas)  maupun dengan orang lain (eksternalitas)

♦ menganggap bahwa masyarakat merupakan produk dari individu (manusia) yang dipandang sebagai aktor yang bersifat aktif dan terus menerus berproses

PERSPEKTIF TEORI INTERAKSIONISME SIMBOLIK MENGENAI PERCERAIAN

Teori interaksionisme simbolik menganggap bahwa terjadinya perceraian disebabkan oleh adanya perubahan atau pergeseran pemaknaan mengenai perkawinan dan perceraian. Perkawinan dahulu dianggap sebagai ikatan setia sehidup-semati kemudian mengalami perubahan. Individu kemudian memberikan makna baru mengenai perkawinan.

 Salah satunya adalah bahwa perkawinan tidak lagi dianggap sebagai sebuah hal yang harus dipertahankan, akan tetapi pernikahan dapat diakhiri apabila pernikahan tersebut tidak lagi mendatangkan kebahagiaan.

Demikian pula degan perceraian. Dulu perceraian dianggap sebagai sebuah tabu dan aib, sehingga, perkawinan, seberapapun tidak bahagianya pasangan yang ada harus tetap mempertahankan ikatan perkawinan mereka.

Seringkali sebuah pasangan suami-istri sudah tidak lagi berkomunikasi dan melakukan hubungan suami-istri akan tetapi tetap mempertahankan ikatan rumah tangga mereka. Seiring dengan terjadinya modernisasi dan globalisasi, makna perceraianpun mengalami perubahan.

Perceraian tidak lagi dianggap sebagai sebuah aib dan tabu, akan tetapi hanya sebagai sebuah solusi bagi persoalan yang dihadapi oleh masing-masing pasangan suami dan istri.



POLA PERCERAIAN

Pola perceraian yang berkaitan denegn persebaran negara di dunia

→ Jepang ; Tingginya tingkat perceraian di Jepang antara lain berkaitan dengan berlakunya sistem keluarga luas yang menganut sistem patrilineal dan kekuasaan patrialkal, sebagaimana halnya dengan yang berlaku di Cina. Perceraian pada masyarakat Jepang merupakan refleksi dari ketidakpuasan kalangan istri-istri di Jepang terhadap keluarga mertua.

Namun seiring dengan meningkatnya kemajuan ekonomi di Jepang, dan berlangsungnya proses urbanisasi serta beralihnya sistem keluarga luas menjadi sistem keluarga konjugal, tingkat perceraian di Jepangpun mengalami penurunan.

→ Di negara-negara Islam, perceraian dipengaruhi oleh adanya keluasan bagi suami untuk menjatuhkan talak kepada istrinya. Faktor lainnya adalah bolehnya seorang suami untuk melakukan poligami.

→ Di sejumlah negara maju seperti Amerika Serikat, tingginya tingkat perceraian merupakan fenomena yang mengikuti proses urbanisasi, industrialisasi serta beralihnya sistem keluarga luas menjadi keluarga konjugal

→ Di Kuba, tingginya tingkat perceraian disebabkan oleh sistem sosialisme yang menajdikan kedudukan perempuan menjadi setara dengan laki-laki. Hal itu mengakibatkan perempuan dapat mengambil inisiatif untuk melakuka proses perceraian jikalau perkawinan mereka tidak mendatangkan kebahagiaan.

→ Perceraian yang terjadi di India salah satu sebabnya adalah perempuan-perempuan India yang menjadi istri  menolak kedudukan perempuan yang sangat timpang dalam masyarakat yang telah ditetapkan oleh adat dan agama. Mereka berupaya melepaskan diri dari kekangan rumah tangga yang cenderung memosisikan perempuan sebagai property dan hak milik.

Perceraian yang berkaitan dengan masyarakat kota dan desa

-perceraian lebih banyak terjadi di perkotaan dibandingkan dengan di pedesaan. Hal ini antara lain dialatrbelakang oleh adanya faktor berikut ;

sistem administrasi di perkotaan lebih baik, sehingga setiap kasus perceraian relatif tercatat, berbeda halnya dengan di pedesaan.

masyarakat kota yang bercorak impersonal tidak terlalu mempermasalahkan status perkawinan dan perceraian seseorang

adanya perbedaan sikap dan nilai yang berlaku di kalangan penduduk kota dan desa, khususnya mengenai masalah perkawinan dan perceraian

penduduk desa relatif lebih terikat dengan adat dan agama dibandingkan dengan penduduk kota. Sedangkan agama dan adat merupakan lembaga yang sangat mendukung perkawinan dan integrasi keluarga.

Perceraian yang berkaitan dengan kelas sosial

Menurut Hilman (1962) dalam penelitiannya pada masyarakat Amerika-sebagaimana yang dikutip Erna Karim- perceraian memiliki kaitan dengan kelas sosial sebagai berikut :

■Lebih banyak terjadi di kalangan pekerja kasar seperti buruh, asisten rumah tangga, dan pelayanan di bidang jasa.

■Tingkat perceraian ini relatif rendah  pada kategori golongan “pekerja kerah putih” yang berada di lapisan menengah masyarakat.

■Adapun di kalangan pekerja profesional atau di kalangan kelas sosial atas, tingkat perceraian dapat dikatakan sangat rendah.


Paul Horton mencatat sejumlah hal yang berkaitan dengan semakin meningkatnya perceraian terutama di dalam masyarakat modern. Beberapa hal tersebut dinyatakan sebagai berikut :

Spesialisasi, individualisme dan mobilitas kehidupan modern yang makin meningkat, bersama dengan tingkat perubahan sosial yang cepat, menjadikan pasangan suami-istri  makin kurang memiliki cita rasa dan tata nilai yang sama.

Ketergantungan ekonomis kaum perempuan pada laki-laki makin menurun. Para istri generasi terdahulu yang tidak bahagia pada dasarnya tidak dapat berbuat lain, sedangkan sekarang para istri yang tidak bahagia mempunyai beberapa alternatif ; bekerja, bila mampu dan bisa ; atau minta jaminan / tunjangan sosial, bila tidak mampu.

Perceraian sudah semakin umum diterima dan tidak lagi dianggap sebagai suatu aib.

Perceraian berkembang dengan alamiah, karena meningkatnya orang yang mempunyai orang tua, saudara atau sahabat yang bercerai. Sebuah riset menyatakan bahwa perceraian terjadi lebih dikarenakan adanya kontak dengan orang yang pernah bercerai ketimbang dikaitkan dengan tingkat kebahagiaan perkawinan itu sendiri. Hubungan dekat dengan orang yang pernah bercerai telah mengubah pandangan mengenai perceraian dari sebuah mimpi buruk menjadi suatu pilihan yang rasional.

Perceraian semakin dipermudah dengan adanya seperangkat norma hukum yang mengatur masalah perceraian.

FAKTOR PENDORONG TERJADINYA PERCERAIAN

Perceraian memiliki latar belakang yang berbeda antarmasyarakat di dunia. Adapun sebab yang mendorong terjadinya perceraian antara lain dijelaskan sebagai berikut :

Terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Bagi istri yang mengalami kekerasan oleh suaminya, perceraian dianggap sebagai sebuah solusi. Apalagi kekerasan dalam rumah tangga tidak hanya menimbulkan trauma, akan tetapi seringkali berujung kepada terjadinya korban jiwa.

Berkembangnya norma-norma baru yang memungkinkan terjadinya perceraian. Sejumlah masyarakat seperti masyarakat Katolik mengharamkan adanya perceraian. Tetapi negara tertentu memberikan ruang bagi terjadinya proses perceraian melalui lembaga perceraian atau pengadilan agama yang mengurus masalah perceraian. Keberadaan lembaga tersebut kemudian mendorong seorang istri atau suami mengajukan perceraian.

Terjadinya kasus perselingkuhan diantara suami atau istri. Melemahnya norma-norma keluarga dan norma-norma perkawinan dalam masyarakat modern mengakibatkan berkembangnya berbagai fenomena perselingkuhan. Perselingkuhan sendiri bukan saja fenomena yang dilakukan oleh suami akan tetapi juga dapat dilakukan oleh istri.

kondisi perekonomian keluarga yang memburuk. Kondisi perekonomian yang buruk seperti ketidakmampuan seorang suami mencari nafkah dapat mendorong seorang istri mengajukan gugatan cerai.

Adanya permasalahan seksual yang dialami oleh suami atau istri

Adanya intervensi dari keluarga besar atau kerabat. Dalam keluarga tradisional, keluarga besar seringkali mencampuri urusan privat rumah tangga. Orangtua misalnya dapat mendorong anaknya untuk melakukan perceraian karena persoalan tertentu seperti ketidakcocokan orangtua terhadap pasangan anak atau menantu.

Berkembangnya alternatif penyaluran aktivitas seksual. Seperti misalnya, dengan adanya prostitusi, aktivitas seksual dapat dilakukan tanpa melalui lembaga yang konform.

meningkatnya posisi sosial perempuan

kegagalan suami atau istri dalam menjalankan perannya

Adanya perbedaan keyakinan dari kedua pasangan


DAMPAK DARI PERCERAIAN

Perceraian menimbulkan dampak yang sangat luas. Menurut teori fungsionalisme, lembaga keluarga merupakan salah satu unsur yang membentuk struktur sosial secara keseluruhan. Oleh karena itu, terjadinya perceraian akan berdampak pada lembaga sosial lainnya atau kepada aspek kehidupan sosial yang lain. Berikut ini adalah beberapa dampak yang ditimbulkan oleh perceraian :

☻ Munculnya bentuk keluarga dengan Orang Tua Tunggal

☻ Munculnya sistem keluarga Binuclear Family System, yaitu sistem keluarga yang terdiri dari dua keluarga batih yang merupakan keluarga orientasi dari si anak dan tetap berhubungan satu sama lain. Masing-masing keluarga ini mempunyai hak dan kewajiban untuk memelihara, merawat dan mendidik anak mereka.

☻ Trauma pada anak. Trauma ini terkait dengan kualitas dalam hubungan sebelumnya. Jikalau anak merasakan adanya kebahagiaan dalam keluarga sebelum mengalami perceraian, maka perceraian antara ayah dan ibu akan menimbulkan trauma pada anak. Sebaliknya, jika anak tidak mendapatkan kebahagiaan dalam keluarga, maka perceraian antara ayah dan ibu tidak terlalu berdampak pada psikologis anak.

☻Dapat memunculkan potensi delikuensi pada anak, terutama apabila terjadi pada keluarga yang berada pada lapisan sosial bawah.












REFERENSI :



James Henslin, Sosiologi Dengan Pendekatan Membumi,Jakarta : 2007

Mayor Polak, Sosiologi Suatu Pengantar Ringkas, Jakarta : Ichtiar, 1976

Paul Horton, Sosiologi, Jakarta : Erlangga, 1996

Stephen Sanderson, Makro Sosiologi, Jakarta : Rajagrafindo, 2003

T.O.Ihromi, Sosiologi Keluarga, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2004




Komentar

  1. KISAH CERITA SAYA SEBAGAI NAPI TELAH DI VONIS BEBAS ALLHAMDULILLAH

    DARI BERKAT BANTUAN BPK Dr. H. Ridwan Mansyur , S.H., M.H BELIAU SELAKU PANITERA MUDA DI KANTOR MAHKAMAH AGUNG (M.A) DAN TERNYATA BELIAU BISA MENJEMBATANGI KEJAJARAN PA & PN PROVINSI.

    Assalamu'alaikum sedikit saya ingin berbagi cerita kepada sdr/i , saya adalah salah satu NAPI yang terdakwah dengan penganiayaan pasal 351 KUHP dengan ancaman hukuman 2 Tahun 8 bulan penjara, singkat cerita sewaktu saya di jengut dari salah satu anggota keluarga saya yang tinggal di jakarta, kebetulan dia tetangga dengan salah satu anggota panitera muda perdata M.A, dan keluarga saya itu pernah cerita kepada panitera muda M.A tentang masalah yang saya alami skrg, tentang pasal 351 KUHP, sampai sampai berkas saya di banding langsun ke jakarta, tapi alhamdulillah keluarga saya itu memberikan no hp pribadi bpk Dr. H. Ridwan Mansyur ,S.H., M.H Beliau selaku panitera muda perdata di kantor M.A pusat, dan saya memberanikan diri call beliau dan meminta tolong sama beliau dan saya juga menjelas'kan masalah saya, dan alhamdulillah beliau siap membantu saya setelah saya curhat masalah kasus yang saya alami, alhamdulillah beliau betul betul membantu saya untuk di vonis dan alhamdulillah berkat bantuan beliau saya langsun di vonis bebas dan tidak terbukti bersalah, alhamdulillah berkat bantuan bpk Dr. H. Ridwan Mansyur, S.H., M.H beliau selaku ketua panitera muda perdata di kantor Mahkamah Agung R.I no hp bpk Dr. H. Ridwan Mansyur , S.H.,M.H 0823-5240-6469 Bagi teman atau keluarga teman yang lagi terkenah musibah kriminal, kalau belum ada realisasi masalah berkas anda silah'kan hub bpk Dr. H. Ridwan semoga beliau bisa bantu anda. Wassalam.....

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

KEBERHASILAN DAN KEGAGALAN ORDE BARU

SOSIOLOGI PEMBUNUHAN