ALIENASI PENYANDANG DISABILITAS

 

ALIENASI PENYANDANG DISABILITAS

 

MARJINALISASI DAN STIGMA GOLONGAN DIFABEL

Salah satu golongan yang cenderung terabaikan dalam struktur sosial masyarakat modern adalah golongan difabel atau golongan yang menyandang disabilitas. Golongan difabel adalah mereka yang memiliki keterbatasan baik fisik maupun mental untuk dapat menjalani kehidupan sehari-hari. Mereka dianggap “tidak normal” karena keterbatasan tersebut.

Golongan difabel terbagi menjadi dua kategori, yang pertama adalah mereka yang memiliki keterbatasan (baca ; cacat) fisik seperti tuna rungu, tuna wicara dan lain sebagainya, dan yang kedua adalah mereka yang memiliki keterbelakangan mental seperti mengalami down sindrome.

Ada juga katerori lain, yaitu mereka yang mengalami keterbelakangan baik fisik maupun mental. Mereka dianggap sebagai tuna ganda dan otomatis beban kehidupan mereka manjdi sangat berat untuk dapat menjalani kehidupan layaknya manusia yang “normal”

Keberadaan golongan difabel dianggap sebagai salah satu masalah sosial yang dihadapi oleh masyarakat. Hal itu disebabkan karena golongan difabel membutuhkan perangkat yang memadai untuk dapat menjalankan aktivitasnya sehari-hari.

Keterbatasan fisik yang mereka alami tidak memungkinkan mereka menjalani aktivitas bersama orang-orang lainnya yang “normal”. Mereka tidak dapat bersekolah disekolah umum dan mereka juga tidak mendapatkan kesempatan kerja yang sama.

Dalam kehidupan sosial, golongan difabel juga seringkali mengalami kesulitan dalam pergaulan. Keunikan dan keterbatasan fisik atau mental yang mereka alami menjadikan proses interaksi dengan orang lain menjadi terhambat. Bahkan yang lebih menyedihkan, golongan difabel kerap kali mengalami perundungan dari pihak-pihak tertentu yang merendahkan kondisinya. Keprihatinan lainnya juga terkait dengan adanya fakta bahwa sebagian kalangan difabel juga menjadi korban eksploitasi seksual.

Untuk dapat menempuh pendidikan golongan difabel harus sekolah di sekolah khusus yaitu sekolah luar biasa (SLB). Di sekolah tersebut mereka bersama dengan golongan difabel lainnya mendapatkan pendidikan terbatas sesuai dengan kapasitas mereka masing-masing.

Keterbatasan mereka dalam menyerap pendidikan di sekolah mengakibatkan terbatasnya keterampilan yang mereka peroleh. Umumnya mereka hanya mampu menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah.

Walaupun demikian ada juga golongan difabel yang dapat melanjutkan pendidikan ke pendidikan tinggi. Mereka ini terutama adalah yang memiliki keterbatasan fisik berupa tidak dapat berjalan karena kelainan fisik/anatomis kaki atau mengidap polio.

Walaupun memiliki keterbatasan fisik dan mental, golongan difabel sebenarnya memiliki kebutuhan yang sama dengan anggota masyarakat lainnya. Mereka membutuhkan perhatian dan juga kasih sayang terutama dari orang-orang terdekat dan orang-orang disekitarnya.

Banyak juga dari golongan difabel yang ingin hidup mandiri. Mereka memiliki kepercayaan diri yang besar serta mereka tidak ingin dikasihani. Mereka hanya ingin mendapatkan akses yang memadai untuk hidup secara normal. Sebagaimana manusia lainnya, mereka juga ingin berkontribusi dalam kehidupan sosial sesuai dengan kemampuan mereka.

Namun justru hal inilah permasalahannya. Struktur dan kultur masyarakat cenderung kurang memberikan perhatian yang memadai terhadap golongan difabel.

Bentuk dari kurang perhatian tersebut dapat dilihat dari ranah negara atau pemerintah dan dari ranah masyarakat. Dari ranah negara kita melihat masih jauhnya prasarana dan fasilitas yang disediakan oleh negara yang dpaat menunjang golongan difabel dalam menjalani kehidupannya. Berbagai prasarana publik, seperti jalan raya, stasiun, terminal, rambu lalu lintas, dan lain sebagainya masih belum memberikan ruang yang cukup ramah bagi para difabel tersebut.

Kalaulah fasilitas penunjang bagi golongan difabel tersebut sudah ada namun masih terbatas dalam jumlah dan kualitasnya. Hal inilah yang menjadikan golongan difabel kesulitan dalam melakukan aktivitas sehari-hari.

Berbeda halnya disejumlah negara maju. Di Jepang dan sejumlah negara maju lainnya misalnya, kepedulian negara tersebut terhadap golongan difabel ditunjukkan dnegan memadainya fasilitas publik yang diperuntukkan terhadap mereka.

Seorang difabel dapat beraktivitas sehari hari misalnya pergi dari rumahnya menuju tempat kerjanya dengan menggunakan sarana transportasi umum. Huruf braille sebagai contoh dapat dengan mudah ditemui di sekitar stasiun kereta api. Trotoar di jalan raya juga dilengkapi dengan tanda untuk memberikan arah kepada golongan difabel yang tidak dapat melihat (buta) untuk berjalan.

Demikian pula dnegan rambu lalu lintas yang tidak saja disimbolkan dengan warna, tetapi juga mengeluarkan bunyi-bunyian tertentu untuk memudahkan golongan difabel yang tidak dapat mendengar suara atau tuna rungu.

Sedangkan pada ranah masyarakat, golongan difabel masih diperlakukan secara berbeda. Mereka kerap mendapatkan stigma yang negatif atau bahkan diperolok-olok oleh sebagian anggota masyarakat.

Untuk mendapatkan pendidikan dan pekerjaan golongan difabel juga mengalami diskriminasi tertentu. Kalau diskriminasi tersebut memang terkait dengan kompetensi mutlak untuk sebuah program studi atau profesi tertentu maka hal ini mungkin masih dapat dimaklumi, misalnya untuk dapat bekerja sebagai pilot diharuskan memiliki visiabilitas yang memadai.

Adapun diskriminasi yang tidak layak adalah ketika golongan difabel disongkirkan dari ruang publik semata-mata karena perbedaan kemampuan fisik yang tidak signifikan dibandingkan dengan orang lainnya.

PERSPEKTIF SOSIOLOGIS

Dari sudut pandang sosiologi, golongan difabel mengalami apa yang disebut Karl Marx sebagai alienasi atau keterasingan. Golongan difabel bukan saja terasing dari lingkungan sekitarnya, mereka bahkan juga terasing dari dirinya sendiri.

Mereka terasing (atau diasingkan) dari lingkungannya karena dianggap berbeda. Perbedaan fisik dan mental yang dimiliki oleh golongan difabel mengakibatkan sebagian anggota masyarakat memandang rendah kemampuan mereka.

Padahal dalam kenyataannya banyak diantara golongan difabel yang mempunyai kecerdasan dan kemampuan di atas rata-rata. Sebagai contoh misalnya Stephen Hawking yang dianggap sebagai sosok yang mirip ilmuan terkenal, Albert Einstein.

Di bidang politik juga terdapat golongan difabel yang mempunyai pengaruh yang sangat besar. Mislanya Presiden Amerika Serikat pada masa Perang Dunia Kedua, Franklin Delano Roosevelt, yang memimpin Amerika Serikat keluar sebagai pemenang dalam perang tersebut dan menghantarkan Amerika Serikat sebagai negara super power.

Dua contoh tersebut sekaan memberikan sebuah informasi penting, bahwa dalam kebanyakan situasi, keterbatasan fisik tidak memiliki korelasi dengan prestasi.

Golongan difabel juga mengalami alienasi atau keterasingan terhadap diri mereka sendiri. Diantara mereka terdapat orang yang mengalami inferiority complex. Hal itu disebabkan karena masyarakat modern yang terlalu mengagung-agungkan kinerja dan pencapaian materi cenderung meremehkan dan melecehkan golongan yang memiliki keterbatasan tertentu seperti golongan difabel.

Sebagian anggota masyarakat bahkan menganggap golongan difabel ini sebagai beban yang harus ditanggung oleh masyarakat. Masyarakat menilai mereka tidak dapat bekerja secara produktif  dan mengisi peran sosial tertentu dalam ruang publik seperti bekerja di perusahaan dan lain sebagainya.

Menurut James Henslin, disabilitas (cacat fisik atau mental) merupakan status utama (master status) yang melekat pada diri seorang difabel. Status tersebut menjadi status utama yang membedakannya dengan orang-orang lain disekitarnya.

Walaupun seorang difabel memiliki segudang prestasi dan kemampuan yang kontributif bagi masyarakat namun tetap saja masyarakat lebih melihat keterbatasan fisik yang mereka miliki ketimbang prestasinya.

Status sebagai difabel sendiri diperoleh tanpa melalui usaha atau bersifat ascribed status, artinya situasi eksternallah yang mengakibatkan mereka harus menjalani hidup sebagai difabel. Seseorang yang mengalami disabilitas tertentu dapat terjadi karena kecelakaan lalu lintas misalnya yang mengharuskan anggota tubuhnya diamputasi atau karena adanya penyakit tertentu yang dideritanya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KEBERHASILAN DAN KEGAGALAN ORDE BARU

SOSIOLOGI PEMBUNUHAN