RITUS PERALIHAN SEBAGAI BAGIAN DARI SISTEM KEPERCAYAAN

 

RITUS PERALIHAN SEBAGAI BAGIAN DARI SISTEM KEPERCAYAAN

 

RITUS DALAM KEHIDUPAN MANUSIA

 

Sebagaimana dalam adat istiadat hampir semua suku bangsa di dunia, dalam adat istiadat beraneka warna suku bangsa di Indonesia ada serangkaian ritus dan upacara yang dilaukan sepanjang lingkaran hidup manusia dan yang dengan meniru Van Gennep juga bisa kita sebut rites de passage atau ritus peralihan.

 

Sama juga halnya dengan pandangan hidup hampir semua suku bangsa di dunia dalam pandangan beraneka warna suku bangsa di Indonesia, semua masa peralihan dianggap sebagai suatu masa krisis, di mana manusia itu harus melepaskan diri dari suatu lingkungan sosial  yang lama, kemudian harus melampaui suatu masa peralihan, dimana ia sebagai makhluk yang lemah tanpa identitas dan tanpa kedudukan, harus mempersiapkan diri secara jasmaniah maupun rohaniahuntuk kedudukannya nanti dalam suatu lingkungan sosial yang baru.

 

Dalam keadaan peralihan seperti itu, banyak kemungkinan orang bisa terserang oleh berbagai macam bahaya seperti sakit, maut dan lain-lain bencana yang tidak dapat dikuasai oleh akalnya ; dengan kata lain perkatan manusia harus melampaui suatu masa kritis.

 

Dalam menghadapi masa-masa krisis itulah, manusia bersikap penuh waspada dan prihatin, dan perlu Tindakan-tindakan untuk memperteguh imannya, serta memperkuat mentalnya. Tindakan-tindakan itu berupa ritus-ritus krisis pada masa peralihan.

 

Sama halnya seperti dalam adat istiadat banyak suku bangsa di dunia, dalam ada istiadat semua suku bangsa di Indonesia, ada serangkaian  ritus dan upacara yang berkaitan dengan sejumlah peristiwa seperti :

 

-hamil tua

-kelahiran

-pemberian nama

-meletakkan bayi di tanah untuk pertama kalinya

-khitanan

-inisiasi

-perkawinan

-kematian

 

Biasanya ritus dan upacara itu bukan peristiwa biasa, tetapi peristiwa yang dilaksanakan dengan emosi keagamaan dan yang karena itu biasanya mempunyai sifat keramat.

 

Sistem ritus dan upacara dalam suatu religi berwujud aktivitas dan Tindakan manusia dalam melaksanakan kebaktian terhadap tuhan, dewa-dewa, roh nenek moyang, atau makhluk halus lain dan dalam usahanya untuk berkomunikasi dengan tuhan dan penghuni dunia gaib lainnya.

 

Sistem ritus dan upacara merupakan salah satu unsur dalam sistem kepercayaan. Sebuah sistem kepercayaan atau reliji antara lain memiliki sejumlah unsur sebagai berikut :

 

1.sistem keyakinan atau doktrin / dogma

2.emosi keagamaan

3.sistem ritus dan upacara

4.peralatan ritus dan upacara

5.umat agama

 

Keyakinan, ritus serta upacara, peralatan ritus serta upacara dan umat agama, yang berkaitan satu sama lain dan saling memengaruhi, baru mendapat sifat keramat yang mendalam apabiladihinggapi oleh komponen utama yaitu emosi keagamaan

 

Ritus atau upacara reliji itu biasanya berlangsung berulang-ulang, baik setiap hari, setiap musim, atau kadang-kadang saja. Tergantung dari isi acaranya, suatu ritus atau upacara reliji biasanya terdiri dari suatu kombinasi yang merangkaikan satu atau dua atau beberapa tindakan seperti :

 

-berdoa

-bersujud

-bersaji

-berkorban

-makan bersama

-menari

-menyanyi

-bertapa

-bersamadi

 

Dalam ritus dan upacara reliji biasanya ipergunakan bermacam-macam sarana dan peralatan seperti :

-tempat atau Gedung pemujaan (masjid, gereja, pura, dan lain sebagainya)

-patung dewa

-patung orang suci

-alat bunyi-bunyian suci (genderang suci, orgel, bedug, gong, seruling, lonceng dan lain sebagainya)

-pakaian yang dianggap mempunyai sifat suci (jubah pendeta, jubah biksu, an lain sebagainya)

 

MAKNA RITUS PERALIHAN

 

A.Van Gennep merupakan seorang ahli folklore Prancis yang menulis mengenai asas-asas ritus dan upacara yang berjudul Rites dePassage (1908). Dalam bukunya tersebut Van Gennep menganalisa ritus dan upacara peralihan pada umumnya berdasarkan data etnografi dari seluruh dunia.

 

Van Gennep berpendirian bahwa ritus dan upacara religi secara universal pada asasnya berfungsi sebagai aktivitas untuk menimbulkan kembali semangat kehidupan sosial antara warga masyarakat. Ia menyatakan bahwa kehidupan sosial dalam tiap masyarakat di dunia selalu berulang, dengan interval waktu tertentu, memerlukan apa yang disebutnya “regenerasi” semangat kehidupan sosial seperti itu. Hal itu disebabkan karena selalu ada saat-saat di mana semangat kehidupan sosial itu menurun dan sebagai akibatnya akan timbul kelesuan dalam masyarakat.

 

Van Gennep menyatakan bahwa gejala turunnya semangat kehidupan sosial itu biasanya terjadi pada masa akhir suatu musim alamiah, pada akhir musim berburu, menangkap ikan, atau suatu tahap dalam produksi pertanian sewaktu energi manusia seolah-olah sudah habis terpakai dalam aktivitas sosial selama musim yang hampir lalu itu. Untuk menghadapi tiap musim yang baru masyarakat memerlukan “regenerasi” semangat kehidupan sosial dalam jiwa para warganya.

 

Selanjutnya Van Gennep mengatakan bahwa dalam tahap-tahap pertumbuhannya sebagai individu, yaitu sejak ia lahir kemudian masa kanak-kanaknya melalui proses menjadi dewasa dan menikah, menjadi tua, hingga saatnya ia meninggal manusia mengalami perubahan-perubahan biologi serta perubahan dalam lingkungan sosial budayanya yang dapat memengaruhi jiwanya dan menimbulkan krisis mental.

 

Untuk menghadapi persoalan-persoalan tersebut manusia juga memerlukan “regenerasi” semangat kehidupan sosial tadi. Van Gennep menganggap ritus dan upacara sepanjang tahap-tahap pertumbuhan atau “lingkaran hidup individu” (life cycle rites) itu sebagai rangkaian ritus dan upacara yang paling penting dan mungkin paling tua dalam masyarakat dan kebudayaan manusia.

 

Bukunya Rites de Passage Van Gennep merupakan hasil penyelidikan hasil penelitian komparatif mengenai ritus dan upacara sepanjang lingkaran hidup individu dalam puluhan tahun kebudayaan-kebudayaan suku-suku bangsa yang tersebar di seluruh permukaan bumi dan yang bahannya diambilnya dari kepustakaan etnografi.

 

Secara lahiriah, berpuluh ritus dan upacara tersebut memang mempunyai bentuk yang secara lahiriah nampaknya sangat berbeda satu sama lain, tetapi Van Gennep berkata bahwa suatu analisa yang lebih mendalam akan menunjukkan adanya beberapa persamaan asasi dalam bentuk yang sangat beraneka ragam tadi.

 

Serupa dengan Hertz, Gennep menyatakan bahwa semua ritus dan upacara itu dapat dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu :

 

1.perpisahan atau separation

 

Pada fase ini manusia dianggap melepaskan kedudukannya yang semula. Acara ritus biasanya terdiri dari tindakan-tindakan yang melambangkan perpisahan itu. Sering ada ritus yang mengandung acara di mana individu yang bersangkutan secara pralambang seakan-akan dibunuh atau dibuat seperti tidak ada lagi. Denagn demikian ia seolah-olah telah dipisahkan dari lingkungan sosialnya dalam tahap kehidupan yang semula.

 

2.peralihan atau marge

 

Pada fase ini manusia dianggap mati atau “tidak ada lagi”, dan dalam keadaan seperti tak tergolong dalam lingkungan sosial manapun atau “betwixt” dan “between”.

 

Namun mereka perlu dipersiapkan untuk menjadi manusia baru dalam lingkungan sosialnya yang baru nanti, dan karena itu dalam banyak upacara inisiasi dalam masyarakat-masyarakat berbagai suku bangsa di dunia, para anak muda yang sedang menjalani upacara  itu dipersiapkan untuk menjadi manusia baru dalam lingkungan sosialnya yang baru pula nanti, dan karena itu dalam banyak upacara inisiasi dalam berbagai masyarakat suku-suku bangsa di dunia para anak muda yang sedang menjalani upacara inisiasi ini dipersiapkan untuk menjalani kehidupan sosial sebagai orang dewasa dalam masyarakat, dalam bagian marge ini.

 

Adapun pelajaran-pelajaran yang diberikan oleh orang-orang tua yang menjadi inisiator mereka antara lain :

 

-mengenai adat-istiadat keramat para nenek moyang

-diperlihatkan benda-benda suci pusaka nenek moyang

-diceritakan cerita-cerita dan mitologi suci

-dipelajari sopan santun bergaul setelah dewasa

-dipelajari pengetahuan mengenai seluk beluk hubungan antara pria dan wanita, dan lain sebagainya

 

 

3.integrasi kembali atau agregation

 

Pada fase ini mereka diresmikan ke dalam tahap kehidupannya serta lingkungan sosialnya yang baru pula. Juga dalam bagian ini, seperti dalam banyak upacara lingkaran hidup ; dalam upacara inisiasi sering ada acara di mana individu yang bersangkutan secara pralambang seakan-akan dilahirkan kembali, dan mengukuhkan integrasinya ke dalam lingkungan sosialnya yang baru.

 

Menurut Van Gennep, tidak semua bagian dari ritus atau upacara yang terurai di atas itu sama pentingnya dalam semua upacara yang merayakan pergantian musim, upacara pertanian, atau ritus sepenjang lingkaran hidup manusia.

 

Ritus pemisahan misalnya sangat mencolok dalam upacara kematian dalam banyak kebudayaan di dunia, walaupun tidak jarang juga ada upacara-upacara kematian di mana sifat peralihan, bahkan sifat integrasi itu merupakan suatu bagian penting. Dalam hal ini upacara kematian berdasakan tema berfikir bahwa individu yang akan mati harus diintegrasikan  ke dalam kehidupannya yang baru di antara makhluk halus yang lain di alam baka.

 

Dalam banyak kebudayaan, ritus peralihan sangat penting misalnya dalam upacara hamil tua, upacara saat-saat anak-anak tumbuh (upacara memotong rambut yang pertama, upacara keluar gigi yang pertama, upacara penyentuhan bayi dengan tanah untuk yang pertama kali dan sebagainya) dan dalam upacara inisiasi. Walaupun demikian, tidak jarang pula ada kebudayaan-kebudayaan di maan ritus lain lebih menonjol dalam upacara-upacara semacam itu.

 

Dalam banyak kebudayaan lain, upacara integrais dan pengukuhan menonjol dalam upacara pergantian musim, upacara pertanian, upacara kelahiran dan upacara pernikahan. Namun tidak jarang peristiwa-peristiwa tersebut dirayakan dengan upacara dimana ketiga macam bagian berperan di dalamnya.

 

Menurut Van Gennep, ritus perpisahan itu sering berkaitan dengan ritus peralihan, sedangkan upacara integrasi dan pengukuhan lebih sering dapat berdiri sendiri, lepas dari kedua ritus yang pertama. Berdasarkan fakta itu dapat disimpulkan bahwa untuk membedakan dengan seksama antara dua macam upacara religi yaitu :

 

1.yang bersifat pemisahan menjadi satu dengan yang bersifat peralihan

2. yang bersifat integrasi dan pengukuhan

 

Bisa juga dibedakan kedua macam upacara religi itu dengan dua  istilah juga, yaitu “ritus” untuk yang pertama dan “upacara” untuk yang kedua.

 

 

REFERENSI

 

Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta : Djambatan, 1988

Koentjaraningrat, Ritus Peralihan di Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1985

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SOSIOLOGI PEMBUNUHAN

STATUS OBJEKTIF DAN STATUS SUBJEKTIF

TAWURAN SEBAGAI SUATU GEJALA SOSIAL (ANALISIS SOSIOLOGIS KONFLIK SOSIAL DI PERKOTAAN)