CAROK ; KEKERASAN YANG MELEMBAGA DALAM MASYARAKAT MADURA
CAROK ; KEKERASAN YANG
MELEMBAGA DALAM MASYARAKAT MADURA
Carok
merupakan salah satu unsur kebudayana masyarakat Madura yang dianggap sudah tidak
sesuai dengan era masyarakat modern yang demokratis. Pandangan etik ini tentu
saja tidak dapat disalahkan sepenuhnya. Dalam masyarakat modern, penyelesaikan konflik
tidak boleh melalui mekanisme kekerasan.
Kekerasan
dianggap tidka akan menyelesaioan masalah, dan hanya melahirkan maslaah baru
seperti dendam kesumat dan lain sebagainya. Akan tetapi dalam perspektif emik,
yaitu perspektif pemilik kebudayaan, Carok dinilai merupakan solusi khas yang
tepat. Carok dianggap sebagai sebuah mekanisme penyelesaian yang adil baik bagi
pelaku maupun korban sekalipun.
Carok
merupakan kekerasan yang sudah melembaga dan diterima sebagai sebuah
penyelesaian konflik oleh masyarakat Madura. Tindak kekerasan berupa carok ini
hampir selalu bersifat individual, meskipun kadang kala terjadi juga Carok
massal yang mulanya bersifat individual. Ketika faktor-faktor lingkungan mulai
berperan (dimulai dari tingkat keluarga sampai tingkat dusun dan desa), maka
Carok massal menjadi tidak terelakkan. Dengan kata lain, Carok massal tidak
lebih dari ekskalasi konflik individual yang berkaitan dengan faktor lingkungan
sosial yang melingkupinya.
Dalam
kebudayaan Madura, pembunuhan (Carok) selalu cenderung dikaitkan dengan
ungkapan “ango`an poteya tolang etembang
poteya mata” (lebih baik mati daripada menanggung rasa malu). Tindakan
tersebut dalam kebudayaan Madura selain dibenarkan secara kultural juga
mendapatkan persetujuan sosial dari masyarakat. Carok terjadi ketika orang
Madura merasa dilecehkan harga dirinya
sehingga membuatnya merasa tada`
ajhina ( pengingkaran terhadap eksistensi diri sehingga tidak berguna dan
bermanfaat secara sosial maupun budaya) (Wijaya, 2006)
Arit yang
digunakan dalam Carok pun memiliki makna simbolik tertentu. Bagi masyarakat
Madura, tanpa arit, dia tidak dianggap lengkap. Ia hanya dianggap setengah
laki-laki, orang liar yang sudah dijinakkan. Jika orang Madura dipermalukan,
dia akan menghunus pisaunya atau aritnya.
Penggunaan
kekerasan fisik merupakan hal yang biasa dalam masyarakat Madura, terutama jika
menyangkut kehormatan diri yang dilecehkan. Oleh karena itu orang luar sering
menganggap ciri khas dari Madura adalah Carok dan menyebut orang Madura sebagai
“orang Carok”.
Berkaitan
dengan hal ini, muncul pertanyaan stereotip mengenai orang Madura. Stereotip
ini meskipun tidak selalu mencerminkan realitas yang sebenarnya, antara lain
menyebutkan bahwa orang Mdura mudah tersinggung, menaruh curiga kepada orang
lain, bertemperamen tinggi atau mudah marah, pendendam, dan suka melakukan
tindakan kekerasan.
Budaya Carok
tidak terlepas dari karakter masyarakat Madura. Orang Madura dikenal
berperangai spontan. Spontanitas dan ekspresifitas orang Madura dilihat ketika
mereka merespon hal-hal yang terjadi di sekelilingnya. Misalnya, ketika orang
Madura tidak menyukai akan sesuatu, maka ketikasukaan itu dikemukakan secara
spontan tanpa didahului dengan pernyataan basa basi. Begitu pula sebaliknya,
jika orang Madura merasa suka akan menyampaikan perasaan kesukaannya itu secara
spontan dan penuh ekspresifias. (Wijaya, 2013)
Pada
masyarakat Indonesia modern, Carok dimasukkan ke dalam kategori perbuatan
kriminal. Pelaku Carok dalam sistem hukum pidana di Indonesia dianggap sebagai
pembunuh dan diancam dengan hukuman penjara. Akan tetapi para pelaku Carok
jelas tidak mau mentaati hukum pemerintah tersebut.
Kondisi ini
mengakibatkan terjadinya tarik menarik dan pertentangan antara hukum adat dan
hukum nasional. Hasil akhir dari kondisi ini sangat ditentukan oleh
berlangsungnya proses modernisasi di kalangan masyarakat Madura terutama
terkait dengan modernisasi pendidikan.
Menurut
Schmartz, sebagaimana yang dikutip oleh Soerjono Soekanto dalam bukunya Pokok
Pokok Sosiologi Hukum, bahwa pada
masyarakat tertentu memang hukum kurang berperan dibandingkan dengan
kaidah-kaidah lainnya.
Hal ini
terutama terjadi di dalam masyarakat Gemeinchaft, di mana kaidah-kaidah atau
norma-norma adat lebih efektif karena hukum sebenarnya secara implisit berarti
turut sertanya atau campurtangannya pihak lain, yang berarti pula memperluas
persengketaan. Artinya, pada masyarakat-masyarakat tertentu yang masih
sederhana dan homogen sifatnya ada kecenderungan untuk menyelesaikan sendiri
suatu konflik di antara mereka sendiri. (Soekanto, 2012)
Adanya tarik
menarik antara Carok sebagai salah satu pranata adat masyarakat Madura dengan
sistem hukum nasional adalah adanya kecenderungan bahwa aparat relatif
mengalami kegamangan dalam menangani kasus Carok. Pelaku Carok biasanya tidak
dihukum sebagaimana layaknya pelaku pembunuhan lainnya.
Umumnya pelaku
Carok hanya di hukum di bawah lima tahun, padahal korban Carok bisa lebih dari
satu orang. Sebagai perbandingan, untuk kasus pembunuhan, berdasarkan
undang-undang pidana Indonesia, pelakunya bisa dihukum mulai dari lima belas
tahun sampai seumur hidup bahkan hukuman mati.
Kondisi ini
disebabkan karena dua hal. Pertama, aparat masih membutuhkan waktu agar
masyarakat Madura pada umumnya memiliki kesadaran hukum yang memadai, sehingga
lambat laun tradisi Carok ini dapat dihilangkan, dan dikemudian hari tindakan
pembunuhan dapat dijerat dengan hukum yang berlaku.
Kedua, dalam
pranata Carok terdapat yang dinamakan Nabang.
Nabang adalah mekanisme tradisional
dalam merekayasa proses peradilan dengan menyerahkan sejumlah uang kepada oknum
aparat peradilan agar hukuman menjadi ringan. Nabang juga dapat dilakukan dengan cara mengganti terdakwa Carok
dengan orang lain. Untuk kasus yang terakhir ini biasanya dilakukan ketika
seseorang menggunakan tenaga Carok bayaran yang dikenal dengan nama Jago.
Biasanya Carok
bayaran atau Jago akan menerima
upahnya setelah berhasil membunuh orang yang dipesan oleh seseorang, sedangkan
keluarga yang memesan Carok bayaran itulah yang menyediakan diri sebagai
pengganti terhukum di peradilan dan di penjara.
Upaya Nabang pada prinsipnya merupakan
komodifikasi hukum yang dinilai sangat menguntungkan semua pihak yang
terlibat—baik secara ekonomi maupun sosial budaya—pada gilirannya semakin
memperkuat pandangan Carok sebagai alat bagi para Jago untuk memperoleh kekuasaan. Dengan demikian, Nabang memiliki
fungsi laten sekaligus disfungsinya.
Adapun fungsi
laten dari Nabang adalah menjadikan
Carok semakin memiliki eksistensi dan melanggengkan adanya institusionalisasi
kekerasan dalam masyarakat Madura. Sedangkan disfungsi dari Nabang adalah semakin memperlemah sistem
hukum positif, khususnya hukum pidana di masyarakat Madura.
Untuk
memperkuat eksistensi hukum positif sekaligus menghilangkan tradisi Carok,
diperlukan sejumlah langkah sebagai berikut :
♦ Perlunya
upaya revitalisasi untuk menegakkan kembali otoritas dan kewibawaan negara,
terutama dalam mengontrol sumber-sumber kekerasan, demi memberikan perlindungan
terhadap masyarakat dan penegakkan keadilan.
♦ Perlu upaya
penyadaran pada masyarakat Madura yang menjadi pelaku Carok untuk lebih
mengedepankan atau mengutamakan pengekspresian hasrat lewat budi bahasa ketika
sedang menghadapi setiap bentuk konflik, terutama yang berpangkal pada
pelecehan harga diri, sehingga membuka ruang terjadinya rekonsiliasi.
♦ Karena Carok
dimaknai sebagai monopoli kekuasaan laki-laki dan adanya sistem sosial
patriarki—yang ditandai oleh adanya perlindungan yang berlebihan terhadap
perempuan (istri), maka perlu dilakukan refleksi untuk menata kembali
pendistribusian kekuasaan secara merata dan proporsional antara laki-laki dan
perempuan dalam kebudayaan Madura.
♦ Perlu adanya
penyadaran bahwa Carok bukanlah satu-satunya mekanisme untuk meraih kekuasaan.
Hal ini terutama ditujukan kepada para Jago.
Posisi sosial atau status yang lebih tinggi sebagai seorang Jago dapat dicapai dengan cara lain yang
lebih terhormat, seperti melalui jalur-jalur mobilitas sosial yang umum di luar
Carok.
♦ Perlu segera
dihilangkan kebiasaan melakukan Nabang,
meskipun upaya ini secara struktural tidak dapat dilepaskan dari kebiasaan pada
skala nasional. Demikian pula perlu adanya penegakkan hukum dengan tegas guna
mengembalikan kewibawaan hukum itu sendiri.
♦ Perlunya
penyadaran terhadap keluarga korban agar menghilangkan dendam terhadap pelaku
Carok yang telah menewaskan anggota keluarganya. Hal ini agar tidak muncul
lingkaran kekerasan dan dendam yang tidak berujung, sehingga masyarakat dapat
menjalani kehidupannya secara normal dan produktif.
REFERENSI :
A.Latief Wiyata, Carok, Konflik
Kekerasan Dan Harga Diri Orang Madura, Yogyakarta : LKiS, 2006
A.Latief Wiyata, Mencari Madura,
Jakarta : Bidik-Phronesis Publishing, 2013
Alo Liliweri,
Prasangka & Konflik,Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat
Multikultur,Yogyakarta : LKiS,2005
Gerry Van
Klinken, Perang Kota Kecil, Kekerasan Komunal Dan Demokratisasi di Indonesia,
Jakarta : YOI, 2007
Hendro Suroyo
Sudagung, Mengurai Pertikaian Etnis, Migrasi Swakarsa Etnis Madura Ke
Kalimantan Barat, Jakarta : ISAI, 2001
Soerjono
Soekanto, Pokok Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta : Rajawali, 2012
Komentar
Posting Komentar