MARJINALISASI MASYARAKAT BETAWI
MARJINALISASI
MASYARAKAT BETAWI
MASYARAKAT
BETAWI DAN MODERNISASI
Modernisasi merupakan sebuah proses yang--menurut para penganut teori modernisasi--mengarah kepada kemajuan. Definisi ini sering ditolak khususnya oleh [para enentang teori mdernisasi. Menurut mereka modernisasi hanyalah proses yang menimbulkan ketimpangan sosial antara kelas-kelas sosial yang ada. Proses modernisasi dianggap gagal dalam mengangkat harkat dan martabat golongan sosial yang di bawah.
Jakarta sebagai kota termodern di Indonesia merupakan wilayah kultural masyarakat etnik Betawi. Masyarakat Betawi termasuk masyarakat yang paling awal
menyaksikan proses modernisasi. Ketika pemerintah Kolonial mengadakan
pembangunan kota Batavia besar-besaran, dengan membangun pelbagai infrastruktur
dan prasarana perkotaan, orang-orang Betawi secara langsung mengalami proses
tersebut dan menjadi bagian di dalamnya.
Menurut seorang tokoh Betawi, H. Irwan Syafi`i,
orang-orang Betawi termasuk masyarakat pertama yang paling dulu menyaksikan dan
melihat mobil dan trem listrik dibandingkan etnis-etnis lainnya, mengingat
ketika itu Batavia merupakan kawasan pertama yang mengalami modernisasi.
Hal tersebut merupakan modal sosial yang dimiliki oleh
masyarakat Betawi. Pengalaman historis yang mereka miliki mengakibatkan mereka
memiliki kepercayaan diri yang tinggi dalam menghadapi modernisasi.
Faktor lainnya yang juga mendukung adalah latar
belakang kehidupan sosial masyarakat Betawi. Masyarakat Betawi memiliki
perbedaan historis-antropologis dengan masyarakat etnik lainnya. Masyarakat
Betawi tidak pernah memiliki kerajaan dan raja.
Hal itu mengakibatkan masyarakat Betawi tidak
terkungkung dengan feodalisme. Mereka tidak mau diatur oleh aturan-aturan
feodal. Masyarakat Betawi hanya mau diatur oleh aturan-aturan keagamaan,
mengingat masyarakat Betawi termasuk masyarakat yang kental keberagamaannya.
Selain kesiapannya dalam menghadapi modernisasi,
orang-orang Betawi juga dikenal sebagai masyarakat yang terbuka. Mereka sangat
toleran terhadap pendatang. Tidak pernah terdapat cerita ketika orang-orang
Betawi menolak kedatangan para pendatang yang ingin tinggal di Jakarta.
Bahkan sudah banyak orang-orang Betawi yang mengadakan
amalgamasi dengan orang dari etnis lainnya, baik dengan orang Jawa, Sunda,
Batak, Minang, dan suku-suku bangsa lainnya.
MARJINALISASI MASYARAKAT BETAWI
Semenjak zaman kolonial sampai zaman Indonesia
merdeka, Kota Jakarta menjadi kota yang paling pesat pembangunannya. Konsep
pembangunan yang cenderung sentralistik mengakibatkan kota Jakarta menjadi kota
yang paling mengalami modernisais. Pembangunan terutama pembangunan fisik terus
dilakukan oleh pemerintah baik pusat mau pun pemerintah Daerah DKI Jakarta.
Pembangunan prasarana fisik dan infrastruktur kota
terus dibangun, mulai dari pembangunan jalan, jembatan, Fly Over, Under Pass, Jalur Khusus Bus Way, gedung-gedung perkantoran, sampai tempat hiburan seperti
Mall.
Perubahan lanscape
Kota Jakarta juga disebabkan oleh masifnya arus urbanisasi. Setiap tahunnya
terutama ketika masa-masa lebaran, puluhan ribu pendatang baru mendiami
berbagai sudut Kota Jakarta. Sebagian dari mereka berhasil mengubah
kehidupannya menjadi lebih baik, sedangkan sebagian lainnya menjadi lumpen
proletariat perkotaan.
Pengaruh kedua hal tersebut beragam bagi orang-orang
Betawi. Ada segi positif dan juga segi negatifnya. Segi positif pembangunan dan
urbanisasi bagi orang Betawi adalah terbukanya kesempatan yang lebih luas bagi
orang-orang Betawi untuk berpartisipasi dalam perekonomian kota. Misalnya,
banyak orang Betawi yang mendirikan rumah-rumah kontrakan untuk disewa oleh
para pendatang.
Adapun segi negatifnya adalah posisi orang-orang
Betawi mengalami proses peminggiran atau marjinalisasi. Orang Betawi mengalami
marjinalisasi dikarenakan mereka tidak memiliki banyak alternatif. Orang Betawi
tidak memiliki budaya merantau sebagaimana suku-suku bangsa lainnya seperti
orang Minang atau orang Batak.
Karena selalu dibanjiri oleh pendatang, orang Betawi
boleh dibilang sangat jarang yang mau merantau, lebih-lebih bertransmigrasi.
Kalau pun ada yang bertransmigrasi, paling-paling para gelandangan kiriman dari
daerah-daerah yang tidak memiliki tempat tinggal menetap.
Bagi orang Betawi mereka enggan merantau atau
bertransmigrasi karena mereka berpendapat Jakarta dan sekitarnya adalah tanah
leluhur mereka, sehingga mereka merasa tidak adil rasanya kalau mereka yang
harus menyingkir dari Jakarta.(Shahab, 2004)
Pembangunan yang pesat yang terjadi di Kota Jakarta
berdampak kepada pemiggiran masyarakat Betawi dalam kehidupan sosial dan
ekonomi, termasuk politik. Pembangunan yang dilakukan karena cenderung
berorientasi kepada aspek ekonomi dan pertumbuhan ekonmi mengakibatkan banyak
kampung Betawi yang mengalami penggusuran. Penggusuran tersebut dilakukan dalam
rangka membangun real estate,
pertokoan, pusat perdagangan atau tempat rekreasi.
Penggusuran tersebut seringkali berdampak negatif bagi
orang-orang Betawi di antaranya karena nilai ganti ruginya yang sangat tidak
sepadan, jika perkampungan Betawi dibeli oleh para pengembang, nilai jualnya
relatif sangat rendah, dan sekarang, nilai jual tanah di bekas perkampungan
Betawi tersebut sudah naik berkali-kali lipatnya. Kondisi ini seringkali
disebabkan karena keawaman orang-orang Betawi dan juga dikarenakan adanya
tekanan-tekanan tertentu.
Bentuk dari marjinalisasi yang dialami oleh orang
Betawi antara lain sebagai berikut :
√ Terjadinya
peralihan kepemilikan lahan ke tangan pendatang, investor atau pengembang
√ Tergusurnya
kebudayaan Betawi, mulai dari hilangnya kuliner asli Betawi dan seni
pertunjukan Betawi
√ Orang-orang Betawi relatif jarang yang memiliki
posisi penting dalam pemerintahan Kota Jakarta mulai dari Kelurahan, Kecamatan,
sampai Pemerintah Daerah DKI Jakarta
√ Tergusurnya kampung-kampung Betawi dan situs-situs
budaya Betawi
√ Cukup banyaknya warga Betawi yang menganggur dan
tidak terserap ke dalam lapangan pekerjaan terutama di sektor formal
Marjinalisasi yang dialami oleh masyarakat Betawi
tidak semata-mata karena faktor eksternal. Terdapat faktor internal yang turut
berperan melemahkan daya tawar masyarakat Betawi dalam menghadapi proses
modernisasi. Salah satunya adalah faktor budaya. Di dalam masyarakat Betawi
banyak sekali ritual etnik dan keagamaan yang dilakukan untuk memperingati
hal-hal tertentu.
Mulai dari ruwatan, pernikahan, Selametan, arisan,
melepas calon haji, menyambut jamaah haji dan berbagai ritual lainnya. Memang
menurut perspektif Durkhemian, ritual berfisat fungsional. Ia turut
mengembangkan kesadaran kolektif dan memelihara solidaritas sesama orang
Betawi.
Akan tetapi di sisi lainnya, ritual-ritual tersebut
juga memiliki disfungsi. Antara lain, banyak sumber daya yang dimiliki oleh
orang Betawi menjadi berkurang akibat banyaknya biaya yang harus dikeluarkan
untuk membiayai ritual-ritual tersebut.
REFERENSI
:
Alwi Shahab, Betawi, Queen Of The East, Jakarta :
Republika,2002
Alwi Shahab, Robin Hood Betawi, Jakarta : Republika,
2001
Bernard.H.M.Vlekke, Nusantara ; Sejarah
Indonesia,Jakarta ; Gramedia,2008
Lance Castlles, Profil Etnik Jakarta, Depok : Masup
Jakarta, 2007
Ridwan Saidi, Babad Tanah Betawi, Jakarta : Gria
Media,2002
Suswandari, Kearifan Lokal Etnik Betawi, Yogyakarta : Pusatka
Pelajar, 2017
Komentar
Posting Komentar