SEJARAH SINGKAT MASYARAKAT BETAWI

 

SEJARAH SINGKAT MASYARAKAT BETAWI

Masyarakat Betawi merupakan salah satu masyarakat yang plural. Masyarakat Betawi terbentuk melalui proses asimilasi dan amalgamasi panjang yang berlangsung berabad-abad sebelumnya. Masyarakat Betawi terkosentrasi di Kawasan Jakarta dan sekitarnya seperti Depok, Tangerang, Bekasi dan pinggiran Kota Bogor. Jakarta yang dulunya Bernama Batavia sudah lama menjadi daerah budaya bagi masyarakat Betawi.

Terdapat banyak analisa terkait dengan keberadaan orang-orang Betawi di Batavia dan sekitarnya. Lance Castels misalnya, berpendapat bahwa orang-orang Betawi pada mulanya berasal dari kalangan budak yang didatangkan ke Batavia sejak zaman kekuasaan VOC, terutama yang berasal dari Bali.

Castles berargumentasi dengan data bahwa sampai dengan abad 18, jumlah budak yang ada di kota Batavia lebih banyak dibandingkan dengan jumlah penduduk bebas. Hal ini dibuktikan dengan adanya dialek berakhiran in, akhiran yang sering diucapkan orang-orang Bali yang kini menjadi Bahasa gaul di Betawi. Selain budaya Cina, orang Betawi banyak menikah dengan etnis Arab, karena dipandang lebih terhormat karena faktor agama.

Sedangkan teori lain berpendapat bahwa etnis Betawi terbentuk dari hasil percampuran berbagai macam etnis yang menghuni kota Batavia pada abad ke-17 dan 18. Pandangan Castles bahwa perbudakan menjadi salah satu unsur pembentuk etnis Batavia ditolak olah sejumlah kalangan. Mereka yang menolak beranggapan bahwa etnis Betawi sudah ada jauh sebelum VOC berkuasa di Batavia.

Terkait dengan latar belakang munculnya orang Betawi ini Bernard H.M.Vlekke mencatat bahwa mereka berasal dari orang-orang Jawa yang dikirim oleh Sultan Agung selaku penguasa Mataram. Sebelum invasi Mataram ke Batavia tahun 1628-1629, dapat dikatakan tidak ada orang Jawa di Batavia.

 Ketika itu di Batavia terdapat orang Bali, Bugis, Makasar, Melayu dan lain-lain, tetapi hampir tidak ada orang Jawa di dalamnya. Orang Jawa yang datang ke Batavia saat itu kemudian berbaur dengan imigran lainnya yang sudah ada sebelumnya kemudian membentuk sebuah kelompok atau golongan sosial yang baru.

Golongan sosial baru tersebut berbeda dengan orang Sunda di Barat Pulau Jawa dan juga berbeda dengan orang Jawa di timur dan mereka menggunakan Bahasa Melayu pasar sebagai Bahasa ibu mereka. Jumlah mereka kemudian berkembang pesat, dari sekitar beberapa ribu di akhir abad ke-17 hingga berjumlah satu juta pada tahun 1940. (Vlekke,2008)

Orang Betawi dalam hal keagamaan menurut Lance Castles  tidak terlalu menjalankan agama Islam seutuhnya, tetapi mereka secara kuat  mengasosiasikan diri sebagai Orang Selam (Muslim). Islam di mata orang Betawi, dan kalangan etnis pribumi lainnya memberikan kenyamanan kepada penduduk mayoritas yang telah menerima kenyataan sebagai kelas sosial terbawah dalam jenjang sosial kolonial.

Langgar bagi orang Betawi berperan sebagai lingkungan persaudaraan untuk meningkatkan ketidaksukaan mereka terhadap upaya-upaya untuk mencapai status Eropa dan kebencian terhadap orang Cina, yang pada tahun 1935 telah menguasai 40 % tanah partikelir.

Dalam bidang pendidikan, orang Betawi pada umumnya tidak mengenyam pendidikan yang memadai. Orang Betawi takut akan pendidikan Barat karena mereka menganggapnya sebagai tahap pertama dalam Kristenisasi, dan karena itu mereka tidak mau mengikutinya.

Keterbelakangan orang-orang Betawi mungkin juga berhubungan dengan asal usul mereka dan karakter pemerintahan Belanda di wilayah Batavia yang berlangsung lama dan secara langsung. Dalam waktu yang lama, orang Belanda memegang jabatan hingga ke tingkat Scout atau sheriff, dan tidak ada bupati pribumi.

Ketika jabatan bupati diangkat pada abad ke-20, jabatan ini diisi oleh orang-orang yang berasal dari kalangan non-Betawi. Sehingga dengan demikian tidak ada unsur-unsur elit Betawi di atas level demang atau wijkmeester (lurah). Suku bangsa Betawi mulai muncul dalam suatu lingkungan dimana ketika semua peran elite yang lebih tinggi sudah disediakan untuk ras lainnya.

Ridwan Saidi dalam bukunya Babad Tanah Betawi memiliki punya pendapat lain tentang asal-usul masyarakat Betawi ini. Menurutnya, orang-orang Betawi sudah ada sejak zaman prasejarah. Ketika itu mereka disebut sebagai proto Betawi, atau cikal-bakal orang Betawi. Ridwan Saidi juga membantah Lance Castles yang menyebutkan orang Betawi sebagai keturunan budak.

Menurutnya, orang Betawi merupakan keturunan dari hasil percampuran etnis yang sudah berlangsung selama berabad sebelumnya. Ridwan Saidi juga  membantah bahwa orang Betawi memeluk Islam sesudah dibebaskan dari perbudakan.

PERIBAHASA SEBAGAI KEARIFAN LOKAL

Masyarakat Betawi sebagaimana masyarakat suku bangsa lainnya memiliki kearifan lokal. Kearifan lokal terkait  dengan adaptasi dengan lingkungan bagi masyarakat pendukungnya

Kearifan lokal  bersifat dinamis dan mampu beradaptasi dengan kondisi lingkungannya. Kearifan lokal dapat berkembang dan eksis dalam kehidupan sosial masyarakat yang merupakan wujud dari kreativitas akal dan budi yang terpola.

Kearifan lokal  memuat sistem nilai dan norma, yaitu gagasan kolektif mengenai apa yang benar dan yang slaah serta tata aturan yang dilengkapi dengan seperangkat sanksi tertentu.

Kearifan lokal  berfungsi sebagai acuan dalam berperilaku dan diyakini kebenarannya oleh masyarakat pendukungnya.

Kearifan lokal masyarakat Betawi antara lain dapat dilihat dari sejumlah peribahasa yang ada dalam masyarakat Betawi. Beberapa peribahasa Betawi yang menggambarkan kearifan lokal dapat dlihat sebagai berikut :

-Peribahasa ikan gabus jangan dipanggang mengandung pesan moral “dalam hidup jangan bersikap sombong”

-Peribahasa Kepale jadi kaki kaki jadi kepale mengandung pesan moral “bersungguh-sungguh dalam menggapai cita-cita”

-Peribahasa kagak bakal lari di uber mengandung pesan moral “tidak perlu tergesa-gesa”

- Peribahasa Aer laut siapa yang asinin mengandung pesan moral “harus selalu rendah diri”

- Peribahasa Puun rimbun tempat berlindung, cabang kuat tempat bergantung mengandung pesan moral “kewajiban menolong yang miskin dan lemah”

-Peribahasa Pengki naek ke Bale mengandung pesan moral berupa sindiran terhadap orang yang sombong ketika sudah kaya

- Peribahasa Nenek nenek kehilangan sisig mengandung pesan moral “melakukan perencanaan jauh ke depan”

- Peribahasa Nyari jarum kehilangan kampak mengandung pesan moral “berhati-hati dalam bekerjasama dengan pihak lain”

- Peribahasa Mancing teri pake kakap mengandung pesan moral “melakukan usaha harus dipikir secara matang”

- Peribahasa ikan teri nyebrangi lautan mengandung pesan moral “seseorang harus mengukur kemampuan sebelum melakukan pekerjaan”

-Peribahasa Siang dibikin malem, malem dibikin siang mengandung pesan moral “pemanfaatan waktu dengan baik”

 

 

REFERENSI :

 

Alwi Shahab, Betawi, Queen Of The East, Jakarta : Republika,2002

Alwi Shahab, Robin Hood Betawi, Jakarta : Republika, 2001

Bernard.H.M.Vlekke, Nusantara ; Sejarah Indonesia,Jakarta ; Gramedia,2008

Lance Castlles, Profil Etnik Jakarta, Depok : Masup Jakarta, 2007

Ridwan Saidi, Babad Tanah Betawi, Jakarta : Gria Media,2002

Suswandari, Kearifan Lokal Etnik Betawi, Yogyakarta : Pusatka Pelajar, 2017

 

 

 

 

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KEBERHASILAN DAN KEGAGALAN ORDE BARU

SOSIOLOGI PEMBUNUHAN