KONSTRUKSI SOSIAL GENDER DAN KEKERASAN SEKSUAL

 

KONSTRUKSI SOSIAL GENDER DAN KEKERASAN SEKSUAL

KONSTRUKSI SOSIAL GENDER

Gender adalah konstruksi sosial budaya yang dibuat oleh suatu masyarakat, berupa konsep, gagasan, nilai, norma yang dilekatkan kepada manusia dengan jenis kelamin yang berbeda secara biologis itu.

Konstruksi gender ini sifatnya berubah-ubah menurut waktu, tempat, kelas, status sosial dan budaya tertentu karena dikonstruksi oleh masyarakat sesuai dengan anggapan-anggapan yang berlaku di dalam masyarakat.

Dengan demikian, karena merupakan bentukan budaya, konstruksi gender  yang bertendensi menimbulkan perlakuan berbeda atau diskriminatif dapat dirubah melalui pendidikan dan produk hukum.

Pada kondisi di mana konstruksi gender menimbulkan perlakuan berbeda atau diskriminatif, didasari oleh hadirnya budaya patriarki. Adapun budaya patriarki dapat ditemukan pada masyarakat yang memiliki tradisi meletakkan laki-laki dalam posisi dan relasi kuasa yang lebih tinggi daripada perempuan.

Konsekuensinya, interaksi  di dalam masyarakatnya didominasi oleh laki-laki, atau apabila perempuanpun diberi tempat untuk berperan maka yang digunakan tetap dengan orientasi nilai an cara pandang yang menggunakan standar laki-laki serta kemungkinan besar mengabaikan pengetahuan dan pengalaman perempuan.

Pada masyarakat yang didominasi laki-laki yang kuat maka akan terbentuk nilai-nilai yang memberi hak-hak khusus pada laki-laki. Nilai-nilai budaya patriarkis ini mengontrol dan mendominasi masyarakat supaya privilise tersebut dapat tetap terpelihara.

Kata budaya sendiri merujuk kepada sistem berpikir, pola hidup. Budaya patriarki memiliki karakteristik ;

1.berpusat pada dominasi laki-laki

2.berorientasi pada nilai dan cara pandang laki-laki

3.mengabaikan pengetahuan dan pengalaman perempuan

4.mengontrol masyarakat supaya dominasi dan privilise tersebut dapat tetap terpelihara

5.dapat hadir dalam sistem kekerabatan patrilineal, matrilineal maupun bilateral atau parental

Pada masyarakat dengan kondisi budaya patriarkinya sangat kuat, maka akan dapat sangat mudah terjadi diskriminasi terhadap perempuan, anak, atau mereka yang berada pada posisi tawar yang lemah karena status sosial, status ekonomi, dan berbagai aspek  lainnya.

Diskriminasi pada hakekatnya adalah serangkaian Tindakan yang meniadakan, mengurangi, menghapus hak-hak individua tau kelompok dengan berbagai dasar.

Tindakan membedakan perlakuan terhadap orang lain dalam rangka meniadakan, mengurangi, menghapus hak seseorang atau suatu kolektif, dapat terjadi karena persoalan budaya patriarkis. Konstuksi sosial budaya tentang gender dan budaya patriarki menyebabkan terjadinya relasi kuasa yang tidak setara, antara laki-laki dan perempuan. Masyarakat memiliki anggapan bahwa sudah sewajarnya posisi laki-laki lebih tinggi daripada perempuan.

Dengan anggapan tersebut maka posisi tawar laki-laki menjadi lebih tinggi atau lebih kuat sedangkan perempuan lebih lemah. Konsekuensinya, kondisi tersebut potensial menyebabkan subordinasi, diskriminasi bahkan kekerasan. Pelakunya adalah mereka yang berada pada posisi yang lebih lemah.

Kekerasan seksual merupakan salah satu bentuk dari diskriminasi. Pembedaan perlakuan berdasarkan relasi kuasa yang timpang, berpotensi memberi peluang terjadinya kekerasan seksual kepada pihak yang lebih lemah.

Bentuk-bentuk kekerasan seksual antara lain berupa ;

1.pelecehan seksual

2.eksploitasi seksual

3.pemaksaan kontrasepsi

4.pemaksaan aborsi

5.perkosaan

6.pemaksaan perkawinan

7.pemaksaan pelacuran

8.perbudakan seksual

9.penyiksaan seksual

Dalam rangka memulihkan kondisi relasi kuasa yang timpang sehingga dapat mengurangi terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dari pihak yang posisi tawarnya kuat kepada pihak yang posisi tawarnya lebih lemah karena konstruksi gender, diperlukan adanya suatu proses yang mengubah relasi kuasa tersebut menjadi setara atau terjadi kondisi kesetaraan gender. Proses menuju kesetaraan gender di dalam  masyarakat memerlukan serangkaian tindakan yang bersifat afirmasi (Affirmative Action).

Tindakan afirmasi adalah tindakan yang memberikan hak khusus kepada pihak yang lebih rentan dalam rangka menguatkan kapasitas dari pihak tertentu supaya dapat memiliki posisi tawar dan relasi kuasa yang setara. Tindakan afirmasi juga disebut sebagai diskriminasi posisitf. Tujuannya justru berbeda dengan diskriminasi negative yang menghilangkana tau membatasi hak.

Diskriminasi positif, meskipun sifatnya sementara, tujuannya adalah dalam rangka menguatkan kapasitas, sehingga ornag yang tadinya berada pada poisi yang lemah mampu untuk melindungi dirinya dan mengakses keadilan.

Diskriminasi dan relasi kuasa yang timpang tidak hanya dapat terjadi berdasarkan perbedaan jenis kelamin dan gender. Akan tetapi di dalam masyarakat dapat terjadi ketimpangan relasi kuasa tersebut atas dasar kondisi sosial, budaya, ekonomi, politik dan juga kondisi fisik maupun mental seseorang. Diskriminasi negatif dapat terjadi kepada penyandang disabilitas mental maupun fisik, karena keterbatasan itu.

Diskriminasi juga dapat terjadi pada warga yang berasal dari kelompok miskin, yang posisi tawarnya lebih lemah dibandingkan dengan kelompok menengah dan atas yang memiliki akses terhadap berbagai hal yang lebih luas.

 

KEKERASAN SEKSUAL

Kekerasan seksual merupakan permasalahan sosial yang sudah lama menjadi hambatan dalam pembangunan manusia di Indonesia. Kekerasan seksual, termasuk pelecehan seksual, yaitu perilaku verbal dan nonverbal yang bersifat seksual dan mencerminkan sikap yang merendahkan terhadap perempuan.

Jumlah korban pelecehan seksual mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, akan tetapi jumlah korban sesunggunya kemungkinan lebih banyak. Hal itu disebabkan karena banyak korban kekerasan dan pelecehan seksual yang tidak melapor.

Kekerasan dan pelecehan seksual dapat terjadi di mana saja tanpa terkecuali, tidak terkecuali di lembaga pendidikan yang seharusnya menjadi tempat yang aman bagi semua orang yang berada di dalamnya.

Kekerasan seksual yang banyak terjadi tentus aja karena adanya hubungan kekuasaan yang tidak terhindarkan, juga konstruksi sosial yang timpang. Sehingga kekuasaan pada akhirnya merembes ke mana-mana dalam benuk relasi seperti perempuan dan laki-laki, suami dan istri, pimpinan dan karyawan atau dosen dan mahasiswa.

Penyebab tingginya kekerasan seksual di Indonesia dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, di antaranya tidak adanya laporan kejadian kekerasan seksual yang disebabkan karena korban enggan untuk melapor. Keengganan korban kekerasan seksual untuk melapor ini disebabkan oleh beberapa hal, yaitu :

- korban tidak mengetahui prosedur pelaporan terhadap tindak kekerasan seksual

-ketiadaan aturan atau mekanisme yang handal sehingga korban tidak mengetahui secara pasti apa yang harus dilakukannya, kemana harus lapor, dan prosedur apa yang harus ditempuh

-ketidakpercayaan korban terhadap sistem yang ada mampu menyelesaikan permasalahannya

-korban seringkali tidak menyadari bahwa dia merupakan korban pelecehan seksual

-korban menganggap kasus yang dialaminya tidak serius sehingga perlu dipermasalahkan

-korban merasa takut atau khawatir akan resiko atau konsekuensi dari pelaporan yang dilakukan atau terungkapnya kasus seperti takut dipecat dari tempatnya bekerja

Dalam kasus kekerasan seksual, umumnya pelaku memiliki posisi dominan di hadapan korban. Sebaliknya korban berada dalam posisi yang rentan (vulnerable) di  hadapan pelakunya.

Kekerasan seksual  terjadi bukan karena hal-hal yang bersifat sepele. Kekerasan seksual terjaid karena adanya faktor yang lebih elementer atau mendasar sifatnya. Kekerasan seksual terjadi karena sejumlah faktor sebagai berikut ;

1.adanya relasi kuasa antara pelaku dan korban dalam masyarakat dengan budaya patriarki

2.adanya peluang untuk terjadinya kekerasan seksual

3.ketiadaan aturan, mekanisme, reaksi atau respon yang memadai

4.lemahnya mekanisme kontrol sosial

5.persoalan gender belum mengalami pengarusutamaan, misalnya berbagai isu gender di perguruan tinggi belum masuk menjadi mata kuliah program studi

6.banyak pihak belum memahami konsep kekerasan seksual secara utuh. Pada umumnya kekerasan seksual baru dilihat semata berupa kekerasan yang bersifat fisik

Relasi kuasa yang timpang merupakan faktor yang determinan dibandingkan faktor-faktor lainnya. Dengan demikian kekerasan seksual dalam berbagai wujudnya tidak lagi dapat dipandang semata-mata sebagai masalah agresivitas seksual melainkan sebagai ekspresi dari hubungan kekuasaan dan dominasi.

Ketimpangan relasi kuasa yang melahirkan kekerasan seksual ini dapat memiliki sejumlah bentuk sebagai berikut ;

1.dosen-mahasiswa

2.senior-junior

3.atasan-bawahan

4.kyai-santri

5.guru-murid

Ketimpangan relasi kuasa itu mengakibatkan pihak yang lebih rendah posisinya tidak mampu menolak atau tidak berdaya dalam menghadapi perlakuan pelaku kekerasan seksual. Rasa takut, sungkan, hormat korban kepada pelaku seringkali menjadi faktor yang mempermudah terjadinya penyalahgunaan posisi dominan berupa kekerasan seksual.

Kekerasan seksual dibedakan dengan pelecehan seksual, walaupun keduanya seringkali dipertukarkan. Kekerasan seksual memiliki berbagai rupa dan wajah. Beberapa bentuk kekerasan seksual antara lain ;

1.   Penyuapan seksual

2.   Pelecehan jenis kelamin

3.   Penyerangan seksual

4.   Pemaksaan seksual

5.   Pemaksaan sterilisasi

6.   Perbudakan seksual

7.   Penyiksaan seksual

8.   Pemaksaan perkawinan

9.   Eksploitasi seksual

 

Adapun pelecehan seksual adalah perilaku verbal, nonverbal atau fisik yang tidak diinginkan dan membuat korbannya merasa tidak aman dan nyaman. Beberapa bentuknya antara lain ;

1.   Cat calling

2.   Menyampaikan lelucon yang berkonotasi seksual

3.   Gestur yang menjurus ke seksualitas, dan lain-lain

4.   Menunjukkan gambar atau konten seksual tanpa persetujuan

Tempat yang memungkinkan terjadinya kekerasan seksual bervariasi. Yang jelas tempat tersebut biasanya jauh  dari pengawasan masyarakat atau tidak terdapat kamera pengawas (CCTV) seperti di pantry bagi pegawai atau di kamar mandi. Untuk lingkungan perguruan tinggi, seringkali kekerasan seksual terjadi di rumah dosen pembimbing Ketika mengadakan bimbingan skripsi.

Adapun upaya mengatasi kekerasan seksual tidak hanya dapat dilakukan dengan cara-cara yang bersfat sektoral semata. Diperlukan penanganan secara komperhensif atau menyeluruh serta mendasar agar dapat mengikis habis akar dan bibit-bibit kekerasan seksual. Penangannnya dapat berupa pencegahan atau mitigasi sampai penanganan kasus serta penyelesaiannya.

Beberapa upaya ang dapat dilakukan dalam rangka mengatasi kekerasan seksual antara lain ;

A.Solusi mendasar dan jangka panjang :

1.menyosialisasikan pengarusutamaan gender ke berbagai lini kehidupan masyarakat

2.melakukan reposisi relasi antara laki-laki dan perempuan

B.Solusi yang bersifat real time

1.perspektif psikologis ; konselor bertindak sebagai pendengar yang baik dalam merespon korban yang menjadi sasaran kekerasan seksual. Konselor menerima penyintas apa adanya dengan memberikan pendampingan dan menjadi pendengar aktif yang menerima apa adanya, tidak menghakimi, tidak bertanya untuk memenuhi rasa ingin tahu pribadi, tidak memberi nasihat ;  melainkan menjadi pendengar yang menerima  semua cerita dengan situasi yang diinginkan penyintas (tempat bercerita, dan metode bercerita, kepada siapa ia ingin bercerita), memberi peneguhan pada korban dan keluarga

2.perspektif birokrasi ;mengeluarkan seperangkan aturan normatif dan turunannya demi mencegah terjadinya kekerasan seksual

3.perspektif keamanan ; memberi tempat aman agar korban dapat melakukan rekoveri total tanpa gangguan dari pihak-pihak yang tidak berkepentingan misalnya rumah aman dan lembaga perlindungan

4.perspektif hukum ;  memberikan sanksi yang memiliki efek jera kepada pelaku dan peringatan bagi anggota masyarakat lainnya

Kekerasan seksual adalah tindakan yang membawa dampak yang merugikan korban tidak hanya secara fisik, melainkan juga secara psikologis , sosial bahkan ekonomi. Kekerasan seksual juga merupakan tindakan yang terbentuk karena persoalan diskriminasi berdasarkan gender dan konstruksi sosial budaya lainnya termasuk juga usia dan status sosial, dalam hal ini menjadi timpang.

Kekerasan seksual membawa dampak yang sangat dalam. Dampak tersebut tidak hanya menimpa diri korban. Akan tetapi juga keluarga, bahkan lingkungan di sekitar korban. Dampak yang dirasakan keluarga mencakup dampak psikologis, emosi dan sosial. Kondisi yang dialami oleh korban, juga dapat dialami keluarga, termasuk orang yang menyaksikan dan atau mengetahui keadaan tersebut.

Tidak hanya terkait dengan persoalan dampak, pemulihan terhadap kondisi korban pasca terjadinya kekerasan seksual tersebut, penting dilakukan pemulihan. Proses pemulihan ini hanya dapat dilakukan dengan kerja sama dengan keluarga korban dan masyarakat, terutama lingkungan terdekat.

Kekerasan seksual menimbulkan dampak yang luas, terutama bagi korban kekerasan seksual, di antaranya ;

1.korban merasa terancam, tidak aman, tereksploitasi, harga diri terinjak, terhakimi, terdiskriminasi, emosi, malu, marah, kesal, merasa bersalah, jijik terhadap diri sendiri dan merasa sebagai orang yang “kotor”

2.korban mengalami gangguan kejiwaan seperti pskosomatis seperti gangguan tidur, kilas balik, adiksi, kecemasan, depresi, keinginan untuk bunuh diri, disosiasi, PTSD.

3.korban menalami gangguan perilaku sosial berupa menarik diri, meledak-ledak, tidak ingin membicarakan

4.korban mengalami kekerasan atau luka fisik seperti rusaknya alat reproduksi

5.dampak kekerasan seksual juga dirasakan oleh keluarga korban, seperti orang tua dan termasuk orang-orang yang menyaksikan atau mengetahui keadaan ini

 

REFERENSI ;

Khaerul Umam Noer (ed), Membongkar Kekerasan Seksual Di Pendidikan Tinggi : Pemikiran Awal, Jakarta : Pustaka Obor, 2022

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KEBERHASILAN DAN KEGAGALAN ORDE BARU

SOSIOLOGI PEMBUNUHAN